Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2014

Entah Mengapa Saya Tidak Percaya

Entah mengapa dari awal saya sudah menduganya, tapi saya tidak menyangka kalau itu kenyataannya. Saya kira sesuatu yang lain, yang lebih biasa, tapi setara. Entah mengapa saat itu saya spontan tertawa jahat, dan berkata, "Haha. Itu nggak mungkin. Aku nggak percaya. Itu pasti bohong." Entah mengapa saya harus mengetahuinya. Maksud saya, entah mengapa saya ditakdirkan menjadi salah satu dari entah berapa orang yang mengetahuinya. Saya tidak pernah penasaran. Saya tidak berusaha mencari tahu. Tapi ada yang memberi tahu.

Ceritanya Belajar Mendeskripsikan Sesuatu

Sesosok tubuh itu berjalan tenang. Ia melangkah ringan dan sampai di depan sebuah ruangan. Dia berjongkok. Tangan kirinya menyelip di antara celah bawah pintu dan meraba-raba mencari sesuatu. Sedetik kemudian tangan itu sudah menggenggam kunci logam dan memasukkannya ke lubang kunci. Cekrek. Cekrek. Kunci diputar dua kali. Lalu tangannya meraih gagang pintu dan membukanya. Pintu terbuka diiringi suara gesekan. Pintu itu sudah terlalu tua meski masih tampak bagus. Ruangan itu gelap total sebelum ia menyalakan lampu. Begitu lampu menyala, tampaklah ruangan kecil yang penuh dengan barang-barang. Dia mematikan lampu kembali, lalu menutup pintu dan menguncinya. Ia memasukkan kunci itu ke kantongnya dan mengambil hpnya. Dengan cahaya hp yang sudah ia redupkan, ia menyisir ruangan. Rupanya tidak sulit untuk menemukan apa yang ia cari. Itu karena ruangan itu sangat rapi seperti habis dibereskan. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, ia memasukkannya ke dalam ransel yang dipakainya. Den

Kisah Tentang Anak yang Tak Pernah Diharapkan

Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Cinta luar biasa. Tapi justru orang tuanya selalu menganggapnya tak ada. Dan berharap kalau ia memang tak pernah ada. Menganggapnya cinta karena orang tuanya akan meninggalkan banyak warisan. Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Tapi orang tuanya selalu menjadikannya prioritas terakhir. Senyumnya, semangatnya, usahanya, terkubur oleh pesona saudara-saudaranya. Saudara-saudara yang sebenarnya selama ini selalu berdoa, agar tiba masanya orang tuanya mengizinkan mereka pergi, tinggal terpisah, dengan dibekali setumpuk kekayaan. Lalu tak pernah kembali sementara ayah dan bunda makin renta. Karena cinta yang begitu tulus tertutup oleh prasangka. Prasangka yang ditebarkan mata yang menerima begitu saja debu-debu polusi, karena ia tak menutupnya dengan kaca pelindung. Lalu penglihatannya memburam, melahirkan dampak menyakitkan. Mempersepsi tanpa memahami. Lalu, apakah salah salah jika dia tak lagi cinta. Kelirukah bila ia pergi, menjadi tak

Tentang Cinta dan Ikhlas

Sumpah terharu. Pengen nangis. Jadi ingat kata-kata seorang teman, "yang paling tinggi bukan cinta, tapi ikhlas". Tentu yang dia maksud dengan yang saya maksud dengan kalimat itu berbeda. Atau mungkin persepsi kami sama, entahlah. Yang paling tinggi bukan cinta, tapi ikhlas. Ya, menurut saya, ikhlas adalah cinta di atas cinta. Mengingatkan saya pada kisah seorang pemimpin yang adil, Umar bin Abdul Aziz. Dan kisah cintanya. Umar bin Abdul Aziz jatuh cinta kepada seorang gadis. Namun, istrinya, Fatimah binti Abdul Malik tidak pernah mengizinkannya menikah lagi. Namun setelah Umar menjadi khalifah, Fatimah membawa gadis itu. Fatimah mengizinkan Umar untuk menikahinya, dengan maksud agar Umar lebih kuat dalam menjalani tugas pemerintahan yang melelahkan. Gadis itu rupanya juga mencintai khalifah Umar. Namun, Khalifah Umar justru berkata, "Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya kembali kepada dunia perasaan semacam itu."

Bahagia-Bergerak :)

• Kurangnya dopamin menyebabkan berkurangnya stimulasi pada korteks motor dan memperlambat dimulainya gerakan . Kalimat itulah baru saja saya sadari ada di tayangan presentasi materi pertama biopsikologi yang dibuat dosen (ketahuan deh selama ini saya nggak merhatiin materi). Dan itu mengingatkan saya pada sesi curhat departemen kemarin siang. Sesi yang mencerahkan bagi yang lain, tapi tetap saya rasa kurang entah mengapa. Mungkin salah satunya adalah karena ada yang berhalangan hadir. "Dia pikir cuma dia yang nggak suka? Aku juga nggak suka tapi aku tetep kerja. Bahkan aku komitmen buat tahun depan!" katanya begitu galak padahal berhati selembut kapas. Syukurlah dia yang mengeluh. Kalau saya yang mengeluh, mungkin kata-katanya lebih kejam. Dan tidak usah disebutkan. Tapi kini saya sadar. Bahkan ilmu biopsikologi pun menjelaskan. Itu wajar, itu normal. Kurangnya dopamin meyebabkan berkurangnya stimulasi pada korteks motor dan memperlambat dimulainya gerakan.