Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Teman

Ada yang kata-kata penuh kemarahannya kujawab kangen, dan jawabannya membuatku menangis tersedu-sedu. Bukan karena ia marah lagi, tapi karena ia membalas dengan kata-kata penuh kerinduan juga. Ada yang saat mendengar aku mengatakan lelah, menyalahkan pilihanku. Dia membuatku bertekad takkan pernah menyebut kata itu lagi, atau kata keluhan lainnya, apapun yang terjadi. Ada yang mendadak memanggil dengan panggilan yang berbeda, yang dia jelas-jelas tahu aku tidak suka. Dia membuatku tahu bahwa dia sedang merasakan sesuatu. Marah, sedih, kecewa, atau perasaan negatif lainnya. Ada yang tidak mau meminjami charger ketika baterai hpku habis. Agar hpku tidak menyala. Agar aku beristirahat sejenak ketika bersamanya. Agar aku lepas dari urusan-urusan yang membuatku sedih, marah, dan menangis. Ada yang menyapa ramah. Menyalami hangat. Memeluk dengan gembira. Dan melontarkan canda. Diikuti oleh teman-temannya. Saat aku belum menyadari siapa yang datang. Meski aku membalas dengan ragu kare

Terlambat

Sampai detik ini bahkan aku tidak tahu Apakah yang aku pilih tepat Apakah yang aku lakukan benar Yang aku tahu hanyalah waktu terus berjalan Sudah sangat terlambat untuk ragu Dan lebih terlambat lagi untuk mundur Tapi tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar Seperti juga tidak pernah ada terlalu terlambat untuk meminta maaf Atau sangat terlambat untuk pulang

Zona Nyaman

"Bukan keluar dari zona nyaman Mbak, tapi memperluas zona nyaman." Iya, mungkin bisa disebut begitu. Itu sama sekali tidak salah. Mencoba hal-hal baru dan memperkaya pengalaman, akan memperluas zona nyamanmu. Tapi kata-kata itu membuatku bertanya-tanya dalam hati: Benarkah ini zona nyaman yang aku cari? Aku tidak mau nyaman dengan keadaan seperti itu. Dan aku juga tidak merasa bisa menjadikannya zona nyamanku. Jadi, biarlah kita berpendapat berbeda soal zona nyaman ini ya. Aku pernah keluar dari zona nyaman, dan merencanakan untuk kembali. Sedangkan kamu, silahkan jadikan itu zona nyamanmu. Semoga petualanganmu menyenangkan, anak muda. Duh, kok jadi merasa tua.

Tidak Tahu

Aku tidak tahu mengapa aku menangis saat kamu menangis Aku tidak tahu mengapa aku marah saat kamu marah Aku tidak tahu mengapa aku sedih saat kamu sedih Aku tidak tahu mengapa aku tersenyum saat kamu tersenyum Aku tidak tahu mengapa aku gembira saat kamu gembira Aku tidak tahu mengapa aku berdoa saat kamu berdoa Aku tidak tahu mengapa aku membaca ayat-ayat-Nya saat kamu membaca ayat-ayat-Nya Aku bahkan tidak tahu mengapa aku berpikir bahwa kita sedang melakukan hal yang sama  Padahal tidak saling melihat Padahal tidak saling mendengar  Padahal tidak saling mengenal  Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa harus melindungimu Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa harus menjagamu Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa harus mendukungmu Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa harus membantumu Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa dilindungi  Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa dijaga Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa diduku

Tentang Seperti

Tentang sebuah cinta, yang seperti lingkaran: bulat, utuh, dan tak berujung Tentang sebuah cinta, yang seperti eskrim: lembut, manis, dan menyejukkan Tentang sebuah cinta, yang seperti air: bening, segar, dan terus mengalir Tentang sebuah cinta, yang seperti rumah: sering ditinggalkan untuk berkontribusi, namun selalu terpatri dalan hati niat yang sungguh-sungguh untuk pulang dan mengabdi Tentang sebuah cinta, yang sungguh-sungguh seperti rumah: tempat merasa hangat, tempat berteduh, tempat bernaung Tentang sebuah cinta, yang selalu seperti rumah: dimana segalanya bermula, dimana nilai pertama kali ditanamkan, dimana pembelajaran pertama diberikan Tentang sebuah cinta, yang sampai kapanpun akan seperti rumah: merasa nyaman sekaligus tertantang, merasa terlindung sekaligus takut, merasa cinta sekaligus benci dengan para penghuninya Tentang sebuah cinta, yang seperti keluarga: merasa memiliki, selalu membuat menangis jika ada sesuatu yang buruk terjadi, dan merasa aman untu

Beberapa Orang Mudah Ditebak

Beberapa orang mudah ditebak. Atau aku yang terlalu suka menbak-nebak? Berprasangka, tapi-hei, sekarang apa yang aku dapat di kelas bisa membantuku dalam menebak. Misalnya, untuk menebak dimana suatu produk yang kucari diletakkan. Untuk orang introvert sepertiku, itu akan sangat membentu. Tanpa perlu bertanya, atau melihat lama-lama. Cukup cek di tempat-tempat yang mungkin, kalau tidak ada ya berarti kosong. Atau untuk mencari dimana suatu fasilitas ditempatkan. Tapi bukan itu ceritanya. Beberapa orang mudah ditebak. Tapi tampaknya mereka hanya membiarkanku bisa menebak. Apa yang ada dalam pesan singkat, kata-kata, atau isyarat, bisa menunjukkan apa yang akan dikatakan setelahnya. Bahkan pendapatnya tentang sesuatu, atau tebakannya atas dirimu. Beberapa orang bisa ditebak, jika kamu mengenalnya dengan cukup baik.

Aku Tak Setegar Itu

Sungguh, aku tak setegar itu. Di suatu malam, tiba-tiba aku menangis. Di depan dua orang yang tidak pernah melihatku menangis, yang hanya diam. Aku hanya bisa mengucapkan satu kalimat, “Gimana rasanya nggak dipercaya?” Konyol kalau diingat sekarang. Bukankah saat itu mereka berdua yang bercerita, mendadak meragukan kedekatan yang selama ini mereka jalin dengan orang-orang yang saat itu mendadak tak meramahi lagi. Mempertanyakan kebersamaan selama ini. Mengungkapkan rasa terluka karena senyum dan sapa dibalas palingan muka. Lalu kalimat itu keluar dari mulutku. Dan aku menangis. Mereka berdua terdiam. “Kalo nggak dipercaya, kenapa harus dipilih?” Kalimat kedua yang berhasil kuucapkan. Percakapan singkat itu lalu segera berlalu. Aku bangkit dan pamit. Mereka berdua, anak psikologi yang nyikologis banget itu, pulang, dan aku pergi setelah mengusap air mata. Saat itu, hanya kami bertiga dan Allah yang tahu. Seorang Hanifa juga bisa menangis. Aku tak setegar itu. Aku tak setegar dia

Jika Orang Tuamu Dulunya Mahasiswa

Jika orang tuamu dulunya mahasiswa, mungkin kamu juga mengalami apa yang kualami: Tiap harinya berdengung di telingamu suara-suara "Mana mahasiswa?" tiap kali ada hal buruk terjadi: kenaikan harga, menurunnya nilai tukar rupiah, dan kabar buruk pengisi media lainnya Berulang kali dalam sehari kamu mendengar cibiran "Ah, mahasiswa sekarang sukanya cuma cari aman" Tiap kali ada kesulitan yang kamu ceritakan, jawabannya adalah "Lho, mahasiswa harusnya bisa... bla... bla... bla..." Tiap kali ada kekurangan pihak penguasa terdengar gerutu "Gimana sih mahasiswa pada diem aja" Tapi bukan berarti kamu tidak mendengar "Lulus cepet lho!" "Nilainya A dong...!" "Habis lulus harus cepet kerja!" "IPnya harusnya 4!" Dan hal-hal lainnya diucapkan berkali-kali dalam sehari seolah-olah kamu akan lupa, seolah-olah kamu tidak pernah menginginkan ataupun mengusahakannya. Ingin kukatakan pada mereka, teririmg maaf ka

Ah, Anda

Saya lihat Anda sangat berpotensi. Saya lihat Anda sangat pandai membawa diri. Saya lihat Anda sering terlihat di sana-sini. Saya lihat Anda lihai berbicara. Saya tertawa karena beberapa kali tebakan saya tentang Anda benar. Tawa senang sebagaimana seseorang yang tebakannya benar, bercampur kekhawatiran karena takut tebakan lainnya -yang bukan sesuatu yang baik- akan benar juga. Tapi ada satu hal pada diri Anda yang membuat saya terkejut. Beberapa hal yang membuat saya berpikir, bahwa hal yang perlu ditambah dalam diri Anda adalah kerendahan hati dan hal yang perlu dikurangi dari diri Anda adalah sikap anti kritik. Apakah itu hanya kesan, ataukah kenyataan? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, saya berharap Anda menyadari, tinggi hati takkan membuat Anda menang, dan menerima semua kritikan dengan lapang dada takkan membuat Anda kalah. Sudahlah. Saya toh menjadi yakin semuanya akan menjadi lebih baik kelak.

Mengenang Palapaku

Entah mengapa, saya mendadak terkenang pada palapa. Terkenang pada pemandu woles luar biasa yang tahun berikutnya jadi komdis di fakultasnya. Terkenang pada ketidakmampuannya menjawab beberapa pertanyaan kami, tapi kami sayang pada beliau luar biasa. Beliau adalah kakak kami, walaupun tidak tahu setelah itu acaranya apa dan tak bertanya pada temannya. Kami tetap menyebutnya pemandu tercinta, kami tetap menyebut kebersamaan kami kenangan seru, meski di hari-H selepas upacara kami berlari tidak jelas, sampai akhirnya masuk terlambat di ruangan dalam lelah. Tapi kami selalu bahagia mengetahui dia masih ada menunggui kami, tak peduli apa yang sedang beliau lakukan. Saya terkenang pada sebuah pagi yang indah, ketika saya melihat motor terbang, persis seperti sepeda terbang doraemon yang saya lihat di TV hari sebelumnya. Dan yang membuat hati saya terharu, terkesan, dan berjanji akan mencintai almamater ini sepenuhnya, adalah spanduk di belakangnya. Tulisan "Selamat Datang Calon Pemim

Lembaga dan Keluarga

Ada sedikit rasa bersalah ketika saya mengetikkan kata lembaga lebih dulu daripada keluarga. Tapi lupakan saja soal itu. Ketika saya berusaha membaliknya pun, saya merasa itu menjadi judul yang kurang tepat. Saya akhir semester lalu bertanya-tanya, mengapa kita harus merasa takut kekeluargaan kita menghambat profesionalisme? Pertanyaan itu telah terjawab. Tapi, saya memiliki pertanyaan yang lain sekarang. Dan lagi-lagi, di akhir semester. Akhir semester memang selalu mengesankan dan melibatkan begitu banyak perasaan. Pertanyaan itu adalah, mengapa mengkhawatirkan kurangnya rasa kekeluargaan dalam lembaga kita? Mengapa mempererat rasa kekeluargaan harus ada di atas meningkatkan kompetensi dan kapabiliitas diri dalam kinerjanya di lembaga? Mungkin saya terlalu tak berperasaan, hingga berpikir bahwa profesionalitas di atas kekeluargaan. Tapi, apakah itu sepenuhnya salah? Bukankah ketika kita bergabung di lembaga, kita dari awal sudah tahu, ini bukan lembaga yang akan memberi keakraban

Netral

Ini bukan cerita tentang air, band, apalagi gigi motor yang belum jalan. Oke, saya sedikit geli sekarang pada kata netral. Ceritanya, saya menemukan komentar tentang jilbab polwan. Ceritanya sang komentator kontra, dengan alasan polwan harus netral. Waktu itu, pemilwa baru saja berlalu. Jadi kata netral rasanya belum hilang dari telinga. Benarkah ada posisi-posisi yang mengharuskan kita untuk netral? Menurut saya, netral adalah suatu kondisi, ketika seseorang belum memiliki informasi yang cukup tentang suatu hal. Misalnya, seseorang yang menjadi panitia pemilwa. Awalnya dia belum kenal dengan semua calonnya karena tidak ada yang sefakultas atau sekomunitas. Tapi seiring waktu berlalu akan mulai muncul kecenderungan. Oh, ini cocok jadi ini, dia tidak cocok untuk jadi itu. Si A dan si B bagus, si C dan si D bukan tipe pemimpin, si E cocoknya di bidang teknis, si F mukanya mirip mantannya, dll. Ya, kalau kita tahu, kita pasti tidak netral. Ketika kita tahu, kita bisa memiliki sikap.

Ketika Kita Tahu Justru Dari Orang Lain

Kadang, kita memiliki kedekatan dengan seseorang dalam suatu lembaga. Bukan kedekatan biologis atau sosiologis, tapi kedekatan ideologis. Hubungan darah tidak ada, jarang berkomunikasi, tapi interaksi singkatnya hanya membicarakan sesuatu yang penting. Menurut saya, itu tanda ada persaudaraan ideologis. Beda dengan orang yang sering kita temui, sering kita sapa, tapi tidak pernah mebicarakan sesuatu yang penting. Komunikasinya "I-it". Misalnya petugas keamanan, petugas bis, pedagang, dan sebagainya. Tapi suatu ketika kita mendapatkan kabar tentang orang ini. Dari orang lain. Entah kita pihak keberapa yang tahu, karena orang yang memberi tahu kita posisinya juga sama seperti kita. Rasa kurang menyenangkan itu pasti ada. Atau tentang orang yang satu lembaga dengan kita. Kemudian ada "rahasia rumah tangga" lembaga yang berhubungan dengan dirinya. Kita tidak memiliki akses terhadap informasi itu, tapi pada suatu hari seseorang di luar lembaga memberitahukannya pada

Visualisasi Wisuda

Awal-awal jadi mahasiswa, saya pernah hadir dalam suatu forum semacam diskusi. Saya lupa siapa yang bicara di depan, tapi saya masih ingat isinya. Kami, para peserta, maba-maba unyu ini, diminta untuk membuat visualisasi wisuda. Menuliskannya dalam bentuk cerita lengkap di atas kertas. Mas-mas yang saya lupa wajah dan namanya apalagi dia siapa itu berkata, "Kalian mau IPK berapa saat wisuda? Mau berapa banyak dan siapa aja yang nyambut dan berbahagia atas wisuda kalian? Kalian pasti sedih kan, kalo IPKnya 4, tapi pas wisuda yang ngasih ucapan selamat cuma orang tua? Bandingin sama yang IPKnya cuma 3,5 tapi yang nyambut, ngucapin selamat, ngajak foto bareng, dan ngasih bunga puluhan orang." Waktu itu saya gemes sama sang mahasiswa tingkat akhir (kayaknya sih, soalnya masnya mungkin udah lulus sekarang, dulu kayak masnya itu angkaan tua). Masak ya IPK 3,5 dibilang cuma. Mungkin karena beliau IPKnya di atas  3,5 banget kali ya. Sayangnya waktu itu, karena waktunya singkat,

Dua Kosong Satu Tiga: yang Menghilang dari Peredaran Pemira

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat karena semua huru-hara duet heboh pemilwa-pemira sudah selesai di seluruh sudut UGM. Yah, setahu saya. Selanjutnya, saya ingin mengacungkan jempol puluhan kali untuk teman-teman KPRM. Teman? Iya, teman satu TPS selama duet Pemilwa-Pemira awal bulan lalu. Pertama, karena mereka sudah membuat nama Pemira tahun ini dengan begitu gantengnya: SUPREMASI, Suara Penggerak Revolusi Mahasiswa Psikologi. "Menurutku Mbak..." kata seorang teman mereka di depanku sambil tertawa "Namanya terlalu ambisius..." Ya, saya juga gemas melihat "tabrak lari" kata "suara", "penggerak", dan "revolusi" bersanding dengan frasa "Mahasiswa Psikologi". Tampaknya mereka bukan pasangan yang serasi, ya? Kedua, mereka jelas-jelas membantu kami, panitia Pemilwa yang jumlahnya pas-pasan ini. Meskipun mereka dilarang membolos oleh para kakak kelas, tapi mereka membolos secara bergantian. Bahkan ada yang ha

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

Anggapan Orang

Dulu... "Loh Han, kamu anak ROHIS?" padahal dulu daftar bareng padahal beberapa kali rapat bareng padahal beberapa kali kerja bareng emang nggak wangun ya? Sekarang... "Loh Han, kamu anak LM?" padahal dulu daftar bareng padahal berapa kali ketemu di acara LM emang nggak cocok ya? "Mbak, dari partai ya? Duduk di sana aja mbak." "Bukan dari partai mas." "Oh.. senat independen?" "Bukan mas." "Terus mbak ini siapa?" "Panitia juga mas." "Oo..." padahal jelas-jelas kalo bukan peserta berarti panitia emang nggak pantes ya?

Desember Telah Mengajarkanku

Larut malam, di sela mengerjakan tugas, sepulang rapat. Aku menangis. Aku putus asa. Aku tidak terima. Tapi aku siapa? Aku tidak memiliki hak ataupun kewajiban untuk tidak terima. *** Di depannya biasa aja, seolah nggak ada apa-apa. Tetep senyum, tetep ketawa. Di medsos menyusun kata-kata yang nggak nyaman di hati ketika dibaca. Ya udah sih. *** Dulu aku nggak percaya kalo ada yang bilang cewek itu baper. Tapi sekarang aku percaya. Desember telah membuat beberapa perempuan yang selama ini selalu tampak profesional menjadi baper. Memperlihatkan sisi tajam dari dirinya. Ya, berkilat-kilat dan mengiris. *** "Kamu tau nggak sih rasanya nggak dipercaya sama orang yang udah milih kamu? Aku lebih milih nggak dipilih dari awal, daripada dipilih terus kemudian nggak dipercaya." *** Mengapa harus tak membalas sapaan? Mengapa harus memalingkan muka saat diberi senyuman? Mengapa harus melupakan semua kedekatan yang selama ini dibangun? Mengapa harus mengesampingkan kerja

Ceritaku, Ceritamu, Ceritanya, Cerita Kami, Cerita Mereka, Cerita Kita

Ini tentang wajahmu yang kulihat hari itu makin ayu. Apakah karena bros barumu? Atau warna merah muda jilbabmu? Atau gaya jilbabmu yang berbeda, mengesankan lebih ceria. Dan senyum yang tidak bisa kutahan saat temanmu memanggilmu. Uh, mengapa menurutku itu lucu, ya? Lalu tentang hari yang lainnya. Saat kita membajak forum. Duh, forum lembaga ini nyaris tak pernah sepi dari bajakan. Membajak forum adalah kata yang kugunakan untuk menceritakan bagaimana dalam suatu agenda milik suatu lembaga, dibicarakan "hal-hal yang tidak berhubungan sama sekali dengan lembaga tersebut dan justru berhubungan dengan lembaga lain". Saking seringnya, seorang adik mengatakan, "Mbak, aku seneng deh, bisa update banyak informasi di sini. Aku kan aktifnya di ranah minat bakat ya mbak, jadi sering nggak tau info macem-macem kayak gini. Untungnya aku di sini, jadi aku bisa denger banyak info. Tau nggak mbak, kalo aku di situ, kan seharusnya aku jadi tau macem-macem ya, tapi kenyataannya enggak.

Ketika Saya Bicara Cinta di Masa UAS

Kuliah tiga semester telah mengubah saya. Dan saya baru sadar. Dua kali mencoba mengetik beberapa kalimat tentang kepemimpinan lembaga, dan bahasa yang muncul sangat nyikologis: cinta. Saya gagal menemukan diksi lain yang tidak menyakiti siapapun. Seperti gagalnya saya untuk tidak peduli, apakah akan ada yang tersakiti atau tidak. Padahal merasa tersakiti adalah urusan seseorang dengan pengelolaan perasaannya sendiri. Bukankah hati kita tidak akan sakit bila tidak kita ijinkan untuk sakit? Mungkin bagi yang tidak kenal saya, bisa berpikir yang macam-macam. Saya pantang bicara cinta-cintaan, apalagi rangga-ranggaan *efek AADC*. Tapi ketika akhir-akhir ini saya mengetikkan kata cinta, adalah karena saya merasa tidak sanggup ketika harus menulis "berusaha menjadi orang yang dapat memberikan kontribusi sebesar mungkin bagi lembaga". Selain karena merasa bahasa tersebut beraroma golongan tertentu (saya sungguh-sungguh merasa begitu, tapi saya juga belum menemukan diksi yang lain

Untukmu, yang Telah Ku (Bersama yang Lainnya) Lempar ke Puncak Tangga

Jika aku mengizinkanmu naik ke bahuku agar kamu dapat melihat lebih banyak, aku tentu menduga kamu akan menceritakan apa yang kamu lihat padaku. Iya kan, wajar begitu. Memangnya siapa yang tidak ingin bisa melihat pemandangan lebih luas? Ah, mungkin ini hanya aku yang kelewat kepo. Atau, ada yang telah membahasakannya dengan jauh lebih nyikologis, peduli dan perhatian. Ketika aku mengizinkanmu naik ke bahuku agar bisa mengambil sesuatu di atas sana, aku tentu berharap kamu mengambilkanku sesuatu juga. Itu wajar kan. Memangnya ada yang tidak begitu? Atau aku yang terlalu banyak berharap padanya? Ah, mungkin aku yang berpikir terlalu muluk. Ketika aku mendorongmu untuk melewati jurang, aku pasti ingin kamu menuliskan apa saja yang kamu lihat dan alami di sana pada sebuah kertas, dan menerbangkannya ke seberang. Tidakkah kamu menyadari itu? Atau cara berpikirku kelewat unik?