Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Dua Kosong Satu Tiga: yang Menghilang dari Peredaran Pemira

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat karena semua huru-hara duet heboh pemilwa-pemira sudah selesai di seluruh sudut UGM. Yah, setahu saya. Selanjutnya, saya ingin mengacungkan jempol puluhan kali untuk teman-teman KPRM. Teman? Iya, teman satu TPS selama duet Pemilwa-Pemira awal bulan lalu. Pertama, karena mereka sudah membuat nama Pemira tahun ini dengan begitu gantengnya: SUPREMASI, Suara Penggerak Revolusi Mahasiswa Psikologi. "Menurutku Mbak..." kata seorang teman mereka di depanku sambil tertawa "Namanya terlalu ambisius..." Ya, saya juga gemas melihat "tabrak lari" kata "suara", "penggerak", dan "revolusi" bersanding dengan frasa "Mahasiswa Psikologi". Tampaknya mereka bukan pasangan yang serasi, ya? Kedua, mereka jelas-jelas membantu kami, panitia Pemilwa yang jumlahnya pas-pasan ini. Meskipun mereka dilarang membolos oleh para kakak kelas, tapi mereka membolos secara bergantian. Bahkan ada yang ha

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

Anggapan Orang

Dulu... "Loh Han, kamu anak ROHIS?" padahal dulu daftar bareng padahal beberapa kali rapat bareng padahal beberapa kali kerja bareng emang nggak wangun ya? Sekarang... "Loh Han, kamu anak LM?" padahal dulu daftar bareng padahal berapa kali ketemu di acara LM emang nggak cocok ya? "Mbak, dari partai ya? Duduk di sana aja mbak." "Bukan dari partai mas." "Oh.. senat independen?" "Bukan mas." "Terus mbak ini siapa?" "Panitia juga mas." "Oo..." padahal jelas-jelas kalo bukan peserta berarti panitia emang nggak pantes ya?

Desember Telah Mengajarkanku

Larut malam, di sela mengerjakan tugas, sepulang rapat. Aku menangis. Aku putus asa. Aku tidak terima. Tapi aku siapa? Aku tidak memiliki hak ataupun kewajiban untuk tidak terima. *** Di depannya biasa aja, seolah nggak ada apa-apa. Tetep senyum, tetep ketawa. Di medsos menyusun kata-kata yang nggak nyaman di hati ketika dibaca. Ya udah sih. *** Dulu aku nggak percaya kalo ada yang bilang cewek itu baper. Tapi sekarang aku percaya. Desember telah membuat beberapa perempuan yang selama ini selalu tampak profesional menjadi baper. Memperlihatkan sisi tajam dari dirinya. Ya, berkilat-kilat dan mengiris. *** "Kamu tau nggak sih rasanya nggak dipercaya sama orang yang udah milih kamu? Aku lebih milih nggak dipilih dari awal, daripada dipilih terus kemudian nggak dipercaya." *** Mengapa harus tak membalas sapaan? Mengapa harus memalingkan muka saat diberi senyuman? Mengapa harus melupakan semua kedekatan yang selama ini dibangun? Mengapa harus mengesampingkan kerja

Ceritaku, Ceritamu, Ceritanya, Cerita Kami, Cerita Mereka, Cerita Kita

Ini tentang wajahmu yang kulihat hari itu makin ayu. Apakah karena bros barumu? Atau warna merah muda jilbabmu? Atau gaya jilbabmu yang berbeda, mengesankan lebih ceria. Dan senyum yang tidak bisa kutahan saat temanmu memanggilmu. Uh, mengapa menurutku itu lucu, ya? Lalu tentang hari yang lainnya. Saat kita membajak forum. Duh, forum lembaga ini nyaris tak pernah sepi dari bajakan. Membajak forum adalah kata yang kugunakan untuk menceritakan bagaimana dalam suatu agenda milik suatu lembaga, dibicarakan "hal-hal yang tidak berhubungan sama sekali dengan lembaga tersebut dan justru berhubungan dengan lembaga lain". Saking seringnya, seorang adik mengatakan, "Mbak, aku seneng deh, bisa update banyak informasi di sini. Aku kan aktifnya di ranah minat bakat ya mbak, jadi sering nggak tau info macem-macem kayak gini. Untungnya aku di sini, jadi aku bisa denger banyak info. Tau nggak mbak, kalo aku di situ, kan seharusnya aku jadi tau macem-macem ya, tapi kenyataannya enggak.

Ketika Saya Bicara Cinta di Masa UAS

Kuliah tiga semester telah mengubah saya. Dan saya baru sadar. Dua kali mencoba mengetik beberapa kalimat tentang kepemimpinan lembaga, dan bahasa yang muncul sangat nyikologis: cinta. Saya gagal menemukan diksi lain yang tidak menyakiti siapapun. Seperti gagalnya saya untuk tidak peduli, apakah akan ada yang tersakiti atau tidak. Padahal merasa tersakiti adalah urusan seseorang dengan pengelolaan perasaannya sendiri. Bukankah hati kita tidak akan sakit bila tidak kita ijinkan untuk sakit? Mungkin bagi yang tidak kenal saya, bisa berpikir yang macam-macam. Saya pantang bicara cinta-cintaan, apalagi rangga-ranggaan *efek AADC*. Tapi ketika akhir-akhir ini saya mengetikkan kata cinta, adalah karena saya merasa tidak sanggup ketika harus menulis "berusaha menjadi orang yang dapat memberikan kontribusi sebesar mungkin bagi lembaga". Selain karena merasa bahasa tersebut beraroma golongan tertentu (saya sungguh-sungguh merasa begitu, tapi saya juga belum menemukan diksi yang lain

Untukmu, yang Telah Ku (Bersama yang Lainnya) Lempar ke Puncak Tangga

Jika aku mengizinkanmu naik ke bahuku agar kamu dapat melihat lebih banyak, aku tentu menduga kamu akan menceritakan apa yang kamu lihat padaku. Iya kan, wajar begitu. Memangnya siapa yang tidak ingin bisa melihat pemandangan lebih luas? Ah, mungkin ini hanya aku yang kelewat kepo. Atau, ada yang telah membahasakannya dengan jauh lebih nyikologis, peduli dan perhatian. Ketika aku mengizinkanmu naik ke bahuku agar bisa mengambil sesuatu di atas sana, aku tentu berharap kamu mengambilkanku sesuatu juga. Itu wajar kan. Memangnya ada yang tidak begitu? Atau aku yang terlalu banyak berharap padanya? Ah, mungkin aku yang berpikir terlalu muluk. Ketika aku mendorongmu untuk melewati jurang, aku pasti ingin kamu menuliskan apa saja yang kamu lihat dan alami di sana pada sebuah kertas, dan menerbangkannya ke seberang. Tidakkah kamu menyadari itu? Atau cara berpikirku kelewat unik?