Langsung ke konten utama

Sepucuk Surat Untukmu

Saudaraku, tidak pantas aku ucapkan untukmu: bersabarlah. Karena aku belum mengerti apa itu kesabaran, di saat engkau telah meniupkannya dalam setiap langkah.
Saudaraku, tidak layak aku menyemangatimu. Aku ini lemah, payah, berantakan. Tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan perjuanganmu yang pantang menyerah.
Saudaraku, malu aku mendoakanmu. Sebab engkau jauh lebih dekat pada Yang Maha Mengabulkan Doa daripada aku. Aku merasa rendah diri, sekaligus iri, dan tersindir luar biasa.
Lalu, apa yang bisa kulakukan untukmu? Agar engkau tahu, di hatiku tak hilang, kepedulian dan cinta yang mendalam. Juga segenap kekaguman dan rasa hormat.
Aku hanya bisa menitipkan air mata pada malam yang diam. Menitipkan kata-kata pada sunyi yang dingin. Dan membisikkan doa dalam gelap yang bercahaya.
Semoga Allaah memberkahi aku dan engkau, menetapkan hatiku dan hatimu agar mencintai kebenaran, dan menguatkan jiwaku dan jiwamu agar selalu memperjuangkannya.
Semoga kelak Allaah mempertemukan kita pada cita-cita yang tercapai dalam kebahagiaan yang abadi. Aamiin.
Di mana aku dan kau berleha-leha, menikmati sukses masing-masing. Aku hanya ingin bertemu denganmu sebentar saja, hanya untuk membuatmu tahu, aku menangis untukmu, tidak untuk seorang lainpun sebelummu.
Jika tidak bersedia mencintaiku, cukup ingatlah aku. Atau jangan lupakan pendapatku tentangmu: engkau mengangumkan, engkau menakjubkan, engkau mengesankan, engkau luar biasa!

------------------------------

Aku tidak percaya. Aku ini keras kepala. Tidak menangis. Malu tersedu. Tapi kali ini aku menitikkan air mata. Juga kemarin-kemarin. Dan entah sampai kapan. Inikah rasa? Nurani?
Mungkin karena tertohok begitu dalam, bagai bumi dan langit saat kualitas dibandingkan. Mungkin karena tersindir begitu tajam, melihatmu luar biasa habis kata-kata berusaha menggambarkan.
Mungkin karena nurani yang meski ditutupi selalu ada dengan kebaikan di dalamnya. Mungkin jiwa yang dalam gejolak masih bisa merasakan kebenaran. Atau mungkin hati yang berselimut noda tapi matanya tetap dapat melihat keadilan.

-------------------------------------------

Tidak ada puisi yang sanggup mendeskripsikan ini. Apalagi aku tak pandai berpuisi.

----------------------------------------------------------

Kebenaran yang kau bela dengan air mata
Keadilan yang kau perjuangkan dengan keringat
Kejujuran yang kau pertahankan dengan darah
Adalah cinta kami juga
Cinta dunia

---------------------------------------------------------------------

Bismillaah, semoga bermanfaat. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup