Kutatap sepasang mata yang berkilat-kilat itu. Kata-kataku sebelumnya memancing emosinya. Ia baru saja berbicara dengan nada tinggi. Dengan ekspresi marah. Aku tahu dia sangat marah dan kecewa, pada dia yang aku pun merasakan hal yang sama terhadapnya. Sepertinya dia juga merasa kecewa dan marah kepada kami. Mungkin bukan kecewa dan marah. Mungkin semacam tidak suka, tetapi ini unik dan sulit dijelaskan.
"Ya kalo iya. Kalo enggak?" Ujarku keras dengan nada galak. Jujur aku merasa pesimis harapanku tidak akan terwujud. Biar saja, aku sudah menangis diam beberapa hari sebelumnya di dalam kama saat larut malam. Lalu mulai keesokan harinya aku kebal dari perubahan ekspresi (walaupun rasa "sakitnya tuh disini" pasti selalu muncul di hati) bila ada hal-hal menyakitkan.
"Masih ada masjid untuk berdoa." Katanya mendadak kalem sambil menunjuk dan memandang mushola yang ada di sebelah kami.
Aku terhenyak. Kamu mengingatkan aku pada sesuatu. Pada sebuah nasehat yang disampaikan berulang kali oleh para kakak. "Salah satu tanda mengandalkan amal adalah berkurangnya harapan bila usaha tak kesampaian." Ya, kurang lebih begitu.
Mengapa aku bisa lupa? Harusnya aku yang lebih dewasa--entahlah, sepertinya dia lebih tua--yang mengingatkan, yang lebih optimis menatap masa depan. Saat waktu berusaha telah habis. Dan hasil tampaknya tak sesuai dengan harapan. Tapi proses baru dimulai. Dan harapan itu masih ada!
Aku teringat kembali pada hari itu. Pada suatu pagi, pertama kali kita bertemu, berkenalan, bekerja sama, dan bercanda. Ya, anggap saja pertama kali. Yang sebelum-sebelumnya hanya formalitas mungkin, atau momen-momen terlupakan.
Semangatmu, --mungkin banyak orang menyebutnya dengan ambisi atau obsesi-- mewarnai hariku hari ini. Membuatku tersenyum dan tetap tenang walaupun aku sedang sangat kacau dan berantakan. Berapapun prosentase keberhasilannya, ada masjid yang selalu menawarkan kesejukan dan memberi ruang kedamaian. Aroma gagal atau sukses yang tercium, tetap saja, harus ada doa di sana.
"Ya kalo iya. Kalo enggak?" Ujarku keras dengan nada galak. Jujur aku merasa pesimis harapanku tidak akan terwujud. Biar saja, aku sudah menangis diam beberapa hari sebelumnya di dalam kama saat larut malam. Lalu mulai keesokan harinya aku kebal dari perubahan ekspresi (walaupun rasa "sakitnya tuh disini" pasti selalu muncul di hati) bila ada hal-hal menyakitkan.
"Masih ada masjid untuk berdoa." Katanya mendadak kalem sambil menunjuk dan memandang mushola yang ada di sebelah kami.
Aku terhenyak. Kamu mengingatkan aku pada sesuatu. Pada sebuah nasehat yang disampaikan berulang kali oleh para kakak. "Salah satu tanda mengandalkan amal adalah berkurangnya harapan bila usaha tak kesampaian." Ya, kurang lebih begitu.
Mengapa aku bisa lupa? Harusnya aku yang lebih dewasa--entahlah, sepertinya dia lebih tua--yang mengingatkan, yang lebih optimis menatap masa depan. Saat waktu berusaha telah habis. Dan hasil tampaknya tak sesuai dengan harapan. Tapi proses baru dimulai. Dan harapan itu masih ada!
Aku teringat kembali pada hari itu. Pada suatu pagi, pertama kali kita bertemu, berkenalan, bekerja sama, dan bercanda. Ya, anggap saja pertama kali. Yang sebelum-sebelumnya hanya formalitas mungkin, atau momen-momen terlupakan.
Semangatmu, --mungkin banyak orang menyebutnya dengan ambisi atau obsesi-- mewarnai hariku hari ini. Membuatku tersenyum dan tetap tenang walaupun aku sedang sangat kacau dan berantakan. Berapapun prosentase keberhasilannya, ada masjid yang selalu menawarkan kesejukan dan memberi ruang kedamaian. Aroma gagal atau sukses yang tercium, tetap saja, harus ada doa di sana.
Komentar
Posting Komentar