"NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik yang Manusiawi?" Begitulah Denny JA menuliskan judul artikelnya yang harus dikupas dalam lomba menulis kebangsaan. Saya sama terkejut dan bingungnya dengan Anda tatkala membaca judul yang sangat 'berani' tersebut. Apalagi dengan menggunakan huruf kapital pada kata 'atau', judul itu tidak hanya membandingkan, tapi menandingkan syariat Islam dengan kemanusiaan. Lebih 'berani'nya lagi, menjadikannya sebagai tulisan untuk diulas dalam lomba KEBANGSAAN. Seperti apa argumen yang Denny JA sajikan untuk menyatakan bahwa ajaran agama yang bervisi menyempurnakan akhlaq dan menjadi rahmat bagi semesta alam tidak manusiawi? Anda bisa membaca artikel lengkapnya di laman Persatuan Wartawan Indonesia, halaman Facebook Denny JA, atau Anda bisa membaca ringkasannya di sini.
Pada awal artikel, Denny JA menyebut nama Habib Rizieq Shihab (HRS) yang sering membawa narasi NKRI bersyariah. Namun narasi hanya sebatas narasi. HRS tidak pernah menjelaskan apa itu NKRI bersyariah, mengapa harus diterapkan, dan bagaimana penerapannya. Padahal untuk dapat diuji secara akademis, harus ada alat ukur seperti apa negara bersyariah itu dan sudah seberapa bersyariah negara-negara yang ada di dunia.
Kemudian Denny JA menyebutkan indeks keislaman yang sudah ada, Islamicity Index. Indeks tersebut mengukur empat aspek: ekonomi, hukum dan pemerintahan, hak politik dan kemanusiaan, serta hubungan internasional. Uniknya, negara-negara dengan indeks tinggi bukanlah negara dengan penduduk mayoritas muslim. 10 negara teratas dalam Islamicity Index adalah negara barat sementara negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam mendapatkan skor yang relatif rendah. Denny JA menutup bagian ini dengan pertanyaan: manakah yang lebih penting, label atau substansi? Beliau juga menyebutkan pengukuran World Happiness Index yang dilakukan oleh PBB. Hasilnya, negara yang mendapatkan indeks tinggi tidak jauh beda dari hasil pengukuran Islamicity Index.
Pada awal artikel, Denny JA menyebut nama Habib Rizieq Shihab (HRS) yang sering membawa narasi NKRI bersyariah. Namun narasi hanya sebatas narasi. HRS tidak pernah menjelaskan apa itu NKRI bersyariah, mengapa harus diterapkan, dan bagaimana penerapannya. Padahal untuk dapat diuji secara akademis, harus ada alat ukur seperti apa negara bersyariah itu dan sudah seberapa bersyariah negara-negara yang ada di dunia.
Kemudian Denny JA menyebutkan indeks keislaman yang sudah ada, Islamicity Index. Indeks tersebut mengukur empat aspek: ekonomi, hukum dan pemerintahan, hak politik dan kemanusiaan, serta hubungan internasional. Uniknya, negara-negara dengan indeks tinggi bukanlah negara dengan penduduk mayoritas muslim. 10 negara teratas dalam Islamicity Index adalah negara barat sementara negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam mendapatkan skor yang relatif rendah. Denny JA menutup bagian ini dengan pertanyaan: manakah yang lebih penting, label atau substansi? Beliau juga menyebutkan pengukuran World Happiness Index yang dilakukan oleh PBB. Hasilnya, negara yang mendapatkan indeks tinggi tidak jauh beda dari hasil pengukuran Islamicity Index.
Di akhir tulisan, Denny JA menyimpulkan beberapa hal. Pertama, bahwa Islam dan semua agama di dunia mendukung nilai manusiawi yang juga sejalan dengan tujuan negara modern. Kedua, ketiadaan aspek aqidah dan dimasukkannya kebebasan beragama dalam dua indeks tersebut menunjukkan keberpihakan pada hak asasi manusia yang sejalan juga dengan pancasila. Ketiga, pancasila telah disepakati para pendiri bangsa -termasuk tokoh-tokoh muslim- sebagai fondasi negara. Oleh karenanya, tidak perlu memperdebatkan lagi atau ingin menggantinya dengan NKRI bersyariah. Kita sudah tiba para era revolusi industri 4.0, fokus saja ke sana dan menggapai ruang publik yang manusiawi.
Dalam tulisan tersebut, Denny JA secara tidak langsung menyebutkan bahwa NKRI bersyariah adalah fondasi negara baru yang diinginkan HRS menggantikan pancasila. Narasi tersebut harus ditolak karena fondasi negara sudah disepakati, pancasila berpotensi memberi perhatian ekstra pada agama, dan tidak produktif di tengah revolusi industri.
Tulisan ini tidak sesangar judulnya. Bahkan menyatakan bahwa Islam dan semua agama lainnya memiliki nilai manusiawi yang sejalan dengan apa yang ingin digapai negara modern. Dua-duanya (karena bukan satu-satunya) poin yang mengganggu dari tulisan ini adalah menyandarkan gagasan NKRI bersyariah pada pribadi HRS dan menyebutkan gagasan tersebut diajukan sebagai pengganti pancasila. Sebentar-sebentar, memangnya NKRI bersyariah dan pansasila itu dua hal yang perlu dibandingkan atau patut ditandingkan? Bagaimana kalau keduanya bersanding, atau bahkan merupakan hal yang lebih dari sejalan: benar-benar sama.
Sebelum menyandingkan NKRI bersyariah, saya ingin menyebutkan bahwa narasi itu bukan milik HRS. Narasi NKRI bersyariah bisa dibawa siapa saja, dengan konsep yang berbeda-beda. Hal itu bukan masalah karena dalam Islam perbedaan pendapat diperbolehkan. Bahkan dalam Islam, perbedaan pendapat tidak selalu berarti ada pendapat yang benar dan ada pendapat yang salah. Bisa jadi pendapat yang ada sama-sama salah atau sama-sama benar. Oleh karenanya, pemahaman saya, HRS, dan Denny JA mengenai NKRI bersyariah sama-sama hanya merupakan salah satu pendapat dan bisa saja salah salah satu atau semuanya salah (atau benar).
Lalu kita patut mengulik lebih banyak mengenai apa itu NKRI bersyariah. Sependek pemahaman saya, NKRI bersyariah berarti NKRI yang berdasarkan pada syariat Islam. Sebagai yang bukan santri dan tidak bisa membaca kitab kuning, saya mempercayakan belajar Islam edisi kilat untuk membuat tulisan ini dari pencarian internet. Topik yang saya cari adalah 'maqashid syari'ah'. Dalam laman resmi Islamicity Index disebutkan kritikan yang sering muncul adalah tidak digunakannya maqashid syari'ah sebagai pedoman penyusunannya.
Maqashid syari'ah gampangnya diartikan sebagai tujuan pokok diturunkannya syari'at. Tujuan tersebut tersusun atas lima aspek. Sama jumlahnya dengan pancasila. Bagaimana kalau kita coba sandingkan keduanya?
1. hifzhud diin (menjaga agama) dengan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. hifzhun nafs (menjaga jiwa) dengan kemanusiaan yang adil dan beradab
3. hifzhun nasl (menjaga keturunan, kelangsungan) dengan persatuan Indonesia
4. hifzhul 'aql (menjaga akal) dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. hifzhul maal (menjaga harta, kepemilikan) dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Lho lho lho... jadi NKRI bersyariah=pancasila nih?
Komentar
Posting Komentar