Langsung ke konten utama

Dua Kosong Satu Tiga: yang Menghilang dari Peredaran Pemira

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat karena semua huru-hara duet heboh pemilwa-pemira sudah selesai di seluruh sudut UGM. Yah, setahu saya.

Selanjutnya, saya ingin mengacungkan jempol puluhan kali untuk teman-teman KPRM. Teman? Iya, teman satu TPS selama duet Pemilwa-Pemira awal bulan lalu.

Pertama, karena mereka sudah membuat nama Pemira tahun ini dengan begitu gantengnya: SUPREMASI, Suara Penggerak Revolusi Mahasiswa Psikologi. "Menurutku Mbak..." kata seorang teman mereka di depanku sambil tertawa "Namanya terlalu ambisius..." Ya, saya juga gemas melihat "tabrak lari" kata "suara", "penggerak", dan "revolusi" bersanding dengan frasa "Mahasiswa Psikologi". Tampaknya mereka bukan pasangan yang serasi, ya?

Kedua, mereka jelas-jelas membantu kami, panitia Pemilwa yang jumlahnya pas-pasan ini. Meskipun mereka dilarang membolos oleh para kakak kelas, tapi mereka membolos secara bergantian. Bahkan ada yang hampir full. Padahal mereka anak psikologi, semester satu lagi. Dan di TPS pun, saya melihat kerja sama yang luar biasa dan saling menguntungkan. Para gamada itu--sampai detik ini kan mereka masih angkatan termuda--memiliki inisiatif untuk selalu membantu. Saking banyaknya membantu, kami sempat terpaksa memarahi mereka. "Biarin aja ini kami yang ngerjain, kalian nggak usah bantu. Kalo ada apa-apa kan kalian bisa ikut repot." Ya, ini soal beberapa benda yang sebaiknya hanya kami yang menyentuhnya.

Ketiga, saya baru tahu setelah membaca LPJ Pemira. Para panitia itu iuran dua puluh ribu rupiah sodara-sodara! Saya tahu mereka pernah rapat sampai larut malam, eh pagi (jam 1 udah pagi kan?). Saya tahu beberapa di antara mereka persiapan untuk hari H sampai jam 3 pagi (walaupun disambi main game). Dan ada beberapa yang hadir di TPS dalam kondisi belum mandi, apalagi sikat gigi, makan jangan tanya. Dan saya baru kenalan dengan mereka pada hari H di TPS, dan baru tahu kalau mereka selama ini dihujat. Salah seorang dari mereka yang paling banyak mengalami hujatan meceritakan dengan mata yang berkilat-kilat. Dan mau-maunya mereka bekerja, mengorbankan waktu, pikiran, kehadiran kuliah (padahal kebanyakan dari mereka sangat cinta pada kuliah, sangat akademis, sangat study oriented), juga uang.

Keempat, mereka maju tanpa bimbingan karena mereka semua maba dan tahun sebelumnya tidak ada Pemira. Mereka kesana-kemari mencari file AD/ART yang memuat sebuah-dua buah pasal tentang Pemira dan KPRM yang hingga akhir tak ditemukan. Bertanya sana-sini lalu pada akhirnya bekerja dengan menebak-nebak apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dilarang. Yang mereka terima adalah tuduhan tentang ketimsesan, baahkan dirasani kemana-mana oleh seorang banwasra kalau salah satu dari mereka memfollow akun kampanye salah satu capresma. Jujur saya kagum pada ketelitian banwasra yang sempat melakukan pengawasan seperti itu. Mereka kebanyakan orang sepertinya.

Oke, saya ingin bercerita tentang obrolan kami, para penghuni TPS 9. Ada KPUM PJ fakultas, KPUM perkap fakultas, KPUM acara, Banwaslu, KPRM, SC KPRM (entahlah sebutannya apa, pokoknya dia yang membentuk dan bekerja bersama KPRM), Banwasra, dan saksi salah satu calon ketua LM. Saksi salah satu parma nggak ikut bergabung di obrolan ini karna dia bukan mahasiswa psikologi.

"Udah berapa angkatan kita yang nyoblos?" kata seorang anggota KPRM. Semua KPRM angkatan 2014.
Kemudian seorang anggota KPRM yang cantik dan berkaca mata (ini serius, karena dia pernah menyapa saya dengan senyum yang super manis :)) menjawab dengan jumlah pencoblos 3 angkatan termuda, mereka yang masih terlihat di kampus.

Yah, seperti yang kami semua lihat, angkatan 2013, angkatan saya, paling rendah partisipasinya, dengan jarak yang cukup jauh.
"Ya wajarlah, kan kalo angkatan 2012, itu calonnya temen seangkatan mereka semua, jadi merasa mengenal, merasa memiliki. Kalo angkatan 2014 kan udah dikader sama mereka. Yang satu kadep, yang satu ketua oprec. Anak-anak 2014 jelas dikenalkan sama mereka." Kata seseorang (seinget saya) banwasra.

"Menurutku nggak kayak gitu." Kali ini saya menimpali. "Angkatan kita yang bakal jadi kadep LM tahun depan, tahun kepemimpinan siapapun ketua LM terpilih. Angkatan kita yang bakal jadi ketua atau kadep BKM-BKM yang bakal bersinergi sama siapapun ketua LM terpilih. Jelas, harusnya angkatan kita yang paling aktif di pemira menurutku."

Uuhh.. mereka ini benar-benar agresif mengampanyekan buat nyoblos. Terutama ketua angkatannya. Melihat ketua angkatan mereka (aseekk pake kata 'mereka') yang begitu sepenuh hati mengajak teman-temannya untuk ikut pesta demokrasi ini, saya kan jadi bertanya, apakah yang dilakukan ketua angkatan saya. "Itulah. Dia udah berusaha, tapi temen-temen di angkatan kita kurang antusias. Mungkin karena calonnya bukan orang yang dikenal sama temen-temen angkatan kita." Jawab seseorang, saya lupa dia banwas atau saksi.

Yah, dia benar. Keduanya bukan para penghuni setia fakultas karena juga memiliki kontribusi di tingkat universitas. Lalu saya teringat kata-kata teman saya, sesama banwas, satu fakultas, mengomentari fenomena "siapa sih para capresma dan casenat itu, kita kebanyakan mahasiswa nggak kenal satupun dari semua calon itu". "Jelas mustahil ada calon yang dikenal oleh semua konstituennya. Emang mereka pengangguran sampe sempet ngeksis ke semua fakultas?" Iya juga ya, pikir saya. Berapa persen mahasiswa yang nggak tau rektornya siapa, dekannya siapa, boro-boro presma. "Iya lah. Itulah fungsinya partai, menjalankan mesin politiknya, buat mengenalkan orang-orang yang diusungnya selama kampanye." Yak, saya menimpali dengan kata-kata yang kini saya geli mengetiknya.

Tapi apa iya, tidak mengenal jadi alasan untuk tidak berpartisipasi? Mengapa tidak bertanya kalau tidak tahu? Minimal, lihat debatnya. Dan, obrolan begitu muncul lagi. Berkali-kali. "Aku kemarin pas masa kampanye bertanya-tanya, kok pemira sepi. Tapi pada bilang di dunia digital rame. Jadi mungkin pengamatanku salah ya. Aku lihat, angkatan 2012 kebanyakan milih mbak ini, sementara angkatan 2014 mbak itu. Kalo angkatan kita, aku nggak ada gambaran apapun. Angkatan kita nggak ikut ada di dalam kehebohan pemira ya?"

"Angkatan kita kebanyakan ngikut ke mbak ini juga." "Oohh.." "Tapi angkatan 2012 mungkin nggak terlalu ke mbak ini banget, agak terbelah." "Oohh.." "Tapi nggak tau ya, angkatan kita cuma dikit yang milih." Saya tertawa. Bahkan yang jadi timses cuma tiga. mereka pun nggak kampanye kayaknya, cuma jadi saksi aja saya lihat. Ya, mungkin saya nggak lihat. Atau mereka memang "timses belakang"?

"Angkatanmu mbak?" kata seorang anak KPRM, dengan ekspresi yang seolah mengatakan yes-aku-menang. Ya ampun, sejak kapan ada lomba banyak-banyakan temen seangkatan yang nyoblos buat panitia?

Saya berdiri lalu duduk di dekat mbak PJ fakultas yang ... oke, mujinya lain kali. "Gimana nih, angkatan kita, yang menghilang dari pemira." Kata beliau. Saya menimpali, "Iya, kalo males milih di pemilwa mungkin wajar karena kan nggak kenal semua misalnya, nggak ngerasa itu penting misalnya. Tapi kalo di pemira harusnya terasa, kan PH LM, ketua dan kadep BKM-BKM, kebanyakan kan bakal diisi sama angkatan kita." Ujar saya, "Bahkan anak LM banyak banget yang nggak nyoblos".

Kemudian, sekarang saya hanya tersenyum membayangkan ada dua angkatan yang berbeda yang saling mengomentari kalau angkatan lainnya itu lebih akademis daripada angkatannya. Udah. Cerita saya selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup