Langsung ke konten utama

Tentang Sebuah Impian Kecil yang Abadi

Sejak lima tahun yang lalu kira-kira, pindah ke sebuah tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tapi bukan itu ceritanya. Ceritanya adalah tentang anak-anak masa kini yang dirampas masa bermainnya. Mereka hanya tahu perkelahian dan balapan. Menangan main game tapi lama kalau diuji mengetik oleh gurunya.

Sayang sekali, anak-anak yang hidup dengan lagu centil, tayangan sok imut, dan tokoh kegenitan. Yang dibaca adalah media sosial dan pesan singkat, begitu juga yang ditulis. Tidak ada bermain, berpetualang, berimajinasi, dan tertawa. Mungkin juga mereka sudah dibuat lupa, bahwa novel remaja yang dibeli putus sejuta per dua puluh itu untuk orang yang umurnya di atas mereka, dan tentu saja orang yang tidak punya cita-cita.

Mereka hanya tahu game, padahal asyik sekali menangkap kupu-kupu dan belalang, menjinakkan mereka sampai menjadi penurut, lalu melepaskannya kembali. Mengejar burung kecil, mengumpulkan sedotan, berbaring di atas rumput, bermain tanah, naik pohon, mungkin suatu saat nanti kegiatan-kegiatan seperti itu hanya tinggal cerita.

Lalu, di mana cita-cita dalam menyikapi hal itu?




Tentu saja di sini, di dalam buku. Mereka tidak suka membaca. Mereka suka menyanyi, tapi tidak ada nyanyian anak-anak. Mereka suka menari, tapi tidak ada tarian anak-anak. Mereka suka bermain, dn game yang selalu tersedia adalah perkelahian atau balapan. Mereka suka menonton, yang ada tontonan picisan. mereka mau membaca, yang ada buku murahan.

Sedih juga di mana mereka akan mendapatkan ke-anak-anak-an mereka kalau bahkan di perpustakaan SD pun isinya novel remaja picisan murahan gratisan yang "senaskah dibeli putus lima puluh ribuan". Harus ada *ISTANA BUKU* di mana mereka menjadi anak-anak yang lugu dan tanpa dosa, anak-anak yang belajar dan dibimbing, anak-anak yang dididik dan dibina.

Entah di mana, tapi di sekitar sini harus ada dalam waktu dekat. Mudaah-mudahan berhasil yah meng-anak-anak-kan anak-anak. Masak lagunya gituan, tontonannya ginian, masih disuruh baca buku naskah lima puluh ribuan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup