Langsung ke konten utama

Kisah Tentang Anak yang Tak Pernah Diharapkan

Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Cinta luar biasa. Tapi justru orang tuanya selalu menganggapnya tak ada. Dan berharap kalau ia memang tak pernah ada. Menganggapnya cinta karena orang tuanya akan meninggalkan banyak warisan.

Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Tapi orang tuanya selalu menjadikannya prioritas terakhir. Senyumnya, semangatnya, usahanya, terkubur oleh pesona saudara-saudaranya.

Saudara-saudara yang sebenarnya selama ini selalu berdoa, agar tiba masanya orang tuanya mengizinkan mereka pergi, tinggal terpisah, dengan dibekali setumpuk kekayaan. Lalu tak pernah kembali sementara ayah dan bunda makin renta.

Karena cinta yang begitu tulus tertutup oleh prasangka. Prasangka yang ditebarkan mata yang menerima begitu saja debu-debu polusi, karena ia tak menutupnya dengan kaca pelindung. Lalu penglihatannya memburam, melahirkan dampak menyakitkan. Mempersepsi tanpa memahami.

Lalu, apakah salah salah jika dia tak lagi cinta. Kelirukah bila ia pergi, menjadi tak ada, seperti harapan orang tuanya, seperti anggapan orang tuanya, seperti sikap orang tuanya terhadapnya? Salahkah ia pergi, dengan hati yang terluka, karena ada-tiadanya dirinya tak berbeda bagi orang tuanya?

Sementara orang tuanya makin menua, menatap pedih pada segunung warisan yang mungkin akan tak bertuan. Bukan karena tak berharga, tapi enggan menerima konsekuensinya: harus merawat mereka.

Anak yang tak diharapkan itu berhenti. Matanya menatap tak percaya pada sosok yang berada di hadapannya. "Benarkah?" Itu kata-kata yang dikeluarkannya, dan hanya itu yang ia bisa katakan. Ia mendadak kehabisan kata karena terkejut.

Sosok di hadapannya menampakkan wajah penuh harap. "Iya, sungguh. Hanya kamu yang bisa. Hanya kamu yang bisa merawat orang tuamu, karena kamu memiliki cinta, ketulusan, dan semangat. Bekal yang sangat penting untuk bersabar dalam merawat orang tuamu di masa senjanya."

"Dan hanya kamu yang bisa meneruskan usaha yang dijalani orang tuamu. Saudara-saudaramu tak ada yang mampu. Dan usaha orang tuamu harus dilanjutkan. Tidak bisa dialihkan ke orang lain, tidak bisa ganti usaha, karena ia dibutuhkan banyak orang. Dan banyak orang bergantung pada usaha orang tuamu. Baik karyawan, distributor, maupun konsumen. Pikirkan itu!" kali ini sosok di hadapannya itu berkata dengan tegas.

"Kamu pikir aku tidak mau? Itu yang selama ini aku inginkan. Bukan karena apa-apa. Tapi karena satu alasan: Cinta. Kamu tahu itu kan? Tapi... aku ingin mandiri, dan setelah lama berpikir, rasa-rasanya itu tidak cocok buatku" katanya berusaha jenaka, sembari dalam hati membisikkan alasan sebenarnya: Tapi, aku sudah terlanjur terluka.

"Pikirkanlah lagi. Ini demi kebaikan semuanya," sosok itu pergi, meninggalkannya dalam gundah yang tak berujung.

Kau akan dikalahkan oleh sebuah luka? Selemah itukah? Tiba-tiba terdengar suara. Ia tersenyum pahit. Terimakasih atas semangatnya, nurani. Katanya pelan.

:)

Lagi inget cerita Hachi, kartun yang bikin nangis. Kalo tayang lagi sekarang, mungkin bikin anak-anak jadi lebih sayang sama ibunya :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup