Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Cinta luar biasa. Tapi justru orang tuanya selalu menganggapnya tak ada. Dan berharap kalau ia memang tak pernah ada. Menganggapnya cinta karena orang tuanya akan meninggalkan banyak warisan.
Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Tapi orang tuanya selalu menjadikannya prioritas terakhir. Senyumnya, semangatnya, usahanya, terkubur oleh pesona saudara-saudaranya.
Saudara-saudara yang sebenarnya selama ini selalu berdoa, agar tiba masanya orang tuanya mengizinkan mereka pergi, tinggal terpisah, dengan dibekali setumpuk kekayaan. Lalu tak pernah kembali sementara ayah dan bunda makin renta.
Karena cinta yang begitu tulus tertutup oleh prasangka. Prasangka yang ditebarkan mata yang menerima begitu saja debu-debu polusi, karena ia tak menutupnya dengan kaca pelindung. Lalu penglihatannya memburam, melahirkan dampak menyakitkan. Mempersepsi tanpa memahami.
Lalu, apakah salah salah jika dia tak lagi cinta. Kelirukah bila ia pergi, menjadi tak ada, seperti harapan orang tuanya, seperti anggapan orang tuanya, seperti sikap orang tuanya terhadapnya? Salahkah ia pergi, dengan hati yang terluka, karena ada-tiadanya dirinya tak berbeda bagi orang tuanya?
Sementara orang tuanya makin menua, menatap pedih pada segunung warisan yang mungkin akan tak bertuan. Bukan karena tak berharga, tapi enggan menerima konsekuensinya: harus merawat mereka.
Anak yang tak diharapkan itu berhenti. Matanya menatap tak percaya pada sosok yang berada di hadapannya. "Benarkah?" Itu kata-kata yang dikeluarkannya, dan hanya itu yang ia bisa katakan. Ia mendadak kehabisan kata karena terkejut.
Sosok di hadapannya menampakkan wajah penuh harap. "Iya, sungguh. Hanya kamu yang bisa. Hanya kamu yang bisa merawat orang tuamu, karena kamu memiliki cinta, ketulusan, dan semangat. Bekal yang sangat penting untuk bersabar dalam merawat orang tuamu di masa senjanya."
"Dan hanya kamu yang bisa meneruskan usaha yang dijalani orang tuamu. Saudara-saudaramu tak ada yang mampu. Dan usaha orang tuamu harus dilanjutkan. Tidak bisa dialihkan ke orang lain, tidak bisa ganti usaha, karena ia dibutuhkan banyak orang. Dan banyak orang bergantung pada usaha orang tuamu. Baik karyawan, distributor, maupun konsumen. Pikirkan itu!" kali ini sosok di hadapannya itu berkata dengan tegas.
"Kamu pikir aku tidak mau? Itu yang selama ini aku inginkan. Bukan karena apa-apa. Tapi karena satu alasan: Cinta. Kamu tahu itu kan? Tapi... aku ingin mandiri, dan setelah lama berpikir, rasa-rasanya itu tidak cocok buatku" katanya berusaha jenaka, sembari dalam hati membisikkan alasan sebenarnya: Tapi, aku sudah terlanjur terluka.
"Pikirkanlah lagi. Ini demi kebaikan semuanya," sosok itu pergi, meninggalkannya dalam gundah yang tak berujung.
Kau akan dikalahkan oleh sebuah luka? Selemah itukah? Tiba-tiba terdengar suara. Ia tersenyum pahit. Terimakasih atas semangatnya, nurani. Katanya pelan.
:)
Lagi inget cerita Hachi, kartun yang bikin nangis. Kalo tayang lagi sekarang, mungkin bikin anak-anak jadi lebih sayang sama ibunya :)
Dia yang paling cinta pada orang tuanya. Tapi orang tuanya selalu menjadikannya prioritas terakhir. Senyumnya, semangatnya, usahanya, terkubur oleh pesona saudara-saudaranya.
Saudara-saudara yang sebenarnya selama ini selalu berdoa, agar tiba masanya orang tuanya mengizinkan mereka pergi, tinggal terpisah, dengan dibekali setumpuk kekayaan. Lalu tak pernah kembali sementara ayah dan bunda makin renta.
Karena cinta yang begitu tulus tertutup oleh prasangka. Prasangka yang ditebarkan mata yang menerima begitu saja debu-debu polusi, karena ia tak menutupnya dengan kaca pelindung. Lalu penglihatannya memburam, melahirkan dampak menyakitkan. Mempersepsi tanpa memahami.
Lalu, apakah salah salah jika dia tak lagi cinta. Kelirukah bila ia pergi, menjadi tak ada, seperti harapan orang tuanya, seperti anggapan orang tuanya, seperti sikap orang tuanya terhadapnya? Salahkah ia pergi, dengan hati yang terluka, karena ada-tiadanya dirinya tak berbeda bagi orang tuanya?
Sementara orang tuanya makin menua, menatap pedih pada segunung warisan yang mungkin akan tak bertuan. Bukan karena tak berharga, tapi enggan menerima konsekuensinya: harus merawat mereka.
Anak yang tak diharapkan itu berhenti. Matanya menatap tak percaya pada sosok yang berada di hadapannya. "Benarkah?" Itu kata-kata yang dikeluarkannya, dan hanya itu yang ia bisa katakan. Ia mendadak kehabisan kata karena terkejut.
Sosok di hadapannya menampakkan wajah penuh harap. "Iya, sungguh. Hanya kamu yang bisa. Hanya kamu yang bisa merawat orang tuamu, karena kamu memiliki cinta, ketulusan, dan semangat. Bekal yang sangat penting untuk bersabar dalam merawat orang tuamu di masa senjanya."
"Dan hanya kamu yang bisa meneruskan usaha yang dijalani orang tuamu. Saudara-saudaramu tak ada yang mampu. Dan usaha orang tuamu harus dilanjutkan. Tidak bisa dialihkan ke orang lain, tidak bisa ganti usaha, karena ia dibutuhkan banyak orang. Dan banyak orang bergantung pada usaha orang tuamu. Baik karyawan, distributor, maupun konsumen. Pikirkan itu!" kali ini sosok di hadapannya itu berkata dengan tegas.
"Kamu pikir aku tidak mau? Itu yang selama ini aku inginkan. Bukan karena apa-apa. Tapi karena satu alasan: Cinta. Kamu tahu itu kan? Tapi... aku ingin mandiri, dan setelah lama berpikir, rasa-rasanya itu tidak cocok buatku" katanya berusaha jenaka, sembari dalam hati membisikkan alasan sebenarnya: Tapi, aku sudah terlanjur terluka.
"Pikirkanlah lagi. Ini demi kebaikan semuanya," sosok itu pergi, meninggalkannya dalam gundah yang tak berujung.
Kau akan dikalahkan oleh sebuah luka? Selemah itukah? Tiba-tiba terdengar suara. Ia tersenyum pahit. Terimakasih atas semangatnya, nurani. Katanya pelan.
:)
Lagi inget cerita Hachi, kartun yang bikin nangis. Kalo tayang lagi sekarang, mungkin bikin anak-anak jadi lebih sayang sama ibunya :)
Komentar
Posting Komentar