Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu dalam Secangkir Kopi

Pada akhirnya kita bukanlah siapa-siapa. Benar-benar bukanlah siapa-siapa. Kopi malam ini begitu pahit, dari rasa dan sisa rasa di bibir cangkir yang belum sempat kita bersihkan dengan sapuanku atau sapuan dari bibirmu. Aku ingin menangisi rasa pahit ini, bahkan menertawainya dengan bahak yang begitu sakit untuk menuntaskannya.
Kita Teralu sibuk, tidak sempat saling menyapa, bahkan saling mengingat.
Padahal, tahukah kamu, Awan pagi ini mengisyaratkan janji yang tak kunjung usai darimu, tak kunjung mencapai kata tuntas dan kau tepati.
Pada akhirnya kita bukanlah siapa-siapa, dan terlalu sia-sia hanya untuk saling berharap. Tak ada yang mengisyaratkan semua akan terselesaikan dengan baik, Angin, hujan, batu alam, bahkan untuk para pemuja tapak bumi yang mulai usang oleh usia dan para lakon yang tak lagi mengenal hormat dan sederhana.
Pada akhirnya kita bukanlah siapa-siapa. Aku merindukan pagi dimana kita saling menyapa, dan bertanya lapar masing-masing. Kemudian tertawa dengan bahak yang dipaksa sebab gas, beras, dan air dalam galon habis dalam waktu yang bersamaan.
Sepertinya masih ada kopi bubuk yang masih bisa kita seduh, dari air panas tetangga, setidaknya masih bisa kita nikmati bersama. Yah, aku merindukan pagi itu, kantuk yang menguasai, tapi masih memberi kesempatan untuk kita “saling menyapa”.

Pada Akhirnya kita bukanlah siapa-siapa. Untuk siapa, dan kepada siapa.
Jam 12 Malam anak perempuanku belum pulang, hanya ibu yang mulai khawatir. Ayah tak lagi khawatir, sebab kekhawatirannya telah terkubur jauh oleh masa dan kenaifan zaman yang memintanya bercumbu lama dan mesra di tempat yang tak pernah kita tahu gelap dan senyapnya, sampai kita menyusulnya kemudian.
Adakah kita tahu, kita siapa hari ini, untuk siapa dan kepada siapa?
Aku dan Kamu dalam secangkir kopi pagi dan malam ini.
Tidak terlalu pahit, tapi memang terlalu pahit untuk dinikmati sendiri. (nd)


secangkir kopi tanpa gula akan terasa pahit, namun aroma dan rasanya lebih kuat…
hm… rasa pahit itu kalau dirasai lebih dalam, sebenarnya menyimpan makna… lama kelamaan akan terbiasa dgn pahitnya…ibarat ujian yg berat akan meneguhkan kita, kita akan terbiasa dgn ujian…
sehingga ujian berat pun bisa terasa ringan…



Daftar Rujukan Postingan ini dan postingan sebelumnya:
http://nendenk.wordpress.com/2011/05/11/aku-dan-kamu-dalam-secangkir-kopi/
http://perempuanini.wordpress.com/author/perempuanini/page/2/
http://dewihambar.wordpress.com/2011/05/16/aku-ingin/
http://agarkamutahu.wordpress.com/2011/05/15/pagi-siang-malam/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup