Langsung ke konten utama

Kalau Kita Menghukum Diri Sendiri

Kalau kita menghukum diri sendiri, dengan memblokade diri ketika ujian itu datang, dan tidak menyisakan celah sedikitpun untuk bergantung kepada selain Allah. Di situ kita tahu, kita mengimani, Allah Maha Berkehendak. Betapa mudahnya Allah bisa membuat kita terpeleset, jatuh, tersandung, terbentur, hancur, atau apapun. Dan mudah juga bagi-Nya untuk memberhasilkan kita.

Dan di situ, dari blokade yang kita buat sendiri dari orang lain, tanpa toleransi, seluruh potensi kita akan keluar. Apa yang awalnya lupa jadi ingat, apa yang awalnya bingung jadi paham. Dan apapun hasilnya, itu membahagiakan, membanggakan, memuaskan. Itulah buah manis kemandirian.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kalau dibilang mandiri, tidak juga. Tapi mungkin iya. Saya melihat dari diri sendiri. Saya mendengar orang yang bisa beli pesawat pribadi itu seolah lebih hebat daripada yang membuat. Atau orang lebih memilih menghabiskan uang untuk makan yang mahal-mahal padahal belum tentu enak dan bergizi, dan tentu saja lebih steril dan higienis masakan ibu di rumah, tapi tidak ingin bisa memasak sedikitpun.

Mengapa harus membeli, mengapa tidak membuat? Kalau kekurangan sesuatu, mengapa memilih untuk membeli, bukan memproduksi? Itu tidak hebat, tidak keren, tidak wow, tidak wah. Beli doang? Bikin dong! Kan kalo bikin sendiri lebih bagus kualitasnya, lebih terjamin bagusnya, lebih sesuai dengan apa yang dimau.

Saya berharap orang-orang muda di Indonesia punya mental mbengkel, bukan mental shopaholic. Maksudnya, bisa bikin, bisa mbetulin, bisa kreatif inovatif, nggak cuma beli-beli aja terus. Mudah-mudahan para generasi penerus negeri ini pikirannya "besok mau bikin apalagi ya?" bukan "besok mau beli apa lagi ya?"

Kesimpulan: mbok ya kalo produksi dalam negri kurang itu jangan impor melulu, nggak ganteng, kan tinggal meningkatkan produksi dalam negri. Soal caranya gimana kan udah ada orang-orang super pinter yang emang tugasnya mikirin itu.

Gimana sih caranya menyusun kalimat yang baik dan benar?

Ah, peduli amat.

Tidak bisa itu tidak salah, yang salah adalah selalu bergantung pada yang lemah. Bergantung pada Yang Maha Kuat dong. Itulah yang disebut sangat mandiri. Hanya bergantung kepada Yang Maha Kuat.

Merasa daya susun kata berantakan dan imajinasi karatan sejak eneg mengonsumsi hitungan.

:D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup