Langsung ke konten utama

Kata Ibunda Tentang Keadilan

Para power ranger dan kawan-kawan sejenis mereka selalu beryel-yel sebelum beraksi: "kami adalah pembela keadilan!" Sebagai penggemar cerita superhero semacam itu, kami (saya dan saudara-saudara saya) tumbuh dengan keinginan yang begitu besar akan keadilan, tentu saja versi kami yang masih bodoh ini.

Menurut kami, kami jarang diperlakukan dengan adil. Yang kami maksud yang memperlakukan kami dengan tidak adil ini adalah pendidikan. Ya, pendidikan yang tidak mendidik, tapi terasa menyakitkan, curang, dan sangat tidak adil.

Baik. Singkat saja ya. Kakek kami dulu guru. Nenek kami juga. Beliau-beliau adalah guru yang galak. Orang tua kami tidak pernah kenal mencontek. Lalu lahirlah kami, enam bersaudara yang selalu juara. Ya, juara, bagi diri kami sendiri kami telah menjadi juara.

Saya SD di sekolah swasta Islam, yang menanamkan budi pekerti dan pendidikan karakter yang begitu kental. Kami diajarkan senang belajar, tapi sayang SMP dan SMA telah mengikis semangat masa kecil saya itu. Kami angkatan pertama SD yang juara satu sekecamatan yang isinya lebih dari 50 SD. Itu cukup sukses untuk pemula seperti kami.

Kemudian saat SMP, saya mulai tahu, bahwa ada kata bernama mencontek. Karena adik-adik saya disekolahkan di SD negeri semua, yang... yah, silahkan mencari sendiri kata yang pas, mereka sudah mengenal mencontek sejak awal SD. Jadi saya pikir saya ini picik sekali.

Itulah. Kami sering mengeluh kepada orang tua kami atas perlakuan tidak adil yang kami terima di sekolah. Apalagi waktu ulangan. Kami sungguh-sungguh mengerjakan, yang lain berbuat curang. Dan para guru kebanyakan mendukung aksi mereka.

Mendukung itu banyak caranya, bisa dengan membiarkan, membantu, atau tidak menambah nilai anak yang jujur agar setara, atau tidak mengurangi nilai anak yang tidak serius agar seimbang, dan lain lain. Itukah yang diinginkan dari sekolah? Calon koruptor? Hah!

Ketidakadilan yang paling menyakitkan adalah ketika SMA. Karena saya dibuat kecewa dengan rapor. Yah, bagaimanapun juga, saya telah menghukum kekecewaan saya dengan masuk ipa, agar terhindar dari resiko yang lebih menusuk. Tapi tetap saja, ketidakadilan tetap ketidakadilan, sampai kapanpun. Dan ia harus dihapus.

Selalu saja, deretan angka dan huruf dalam tabel itu, ya Allah, bolehkah mendendam ketidakadilan? Yah, sebenarnya, seharusnya bukan saya yang marah. Sebenarnya saya tidak dirugikan, yang dirugikan adalah orang-orang lain. Tapi saya yang terluka setengah hati. Ya Allah, mudah-mudahan luka itu bukan kesombongan dan kalaupun luka itu adalah kesombongan, ampuni hamba-Mu ini ya Allah...

Tapi luka itu tertanam begitu dalam. Menancap begitu kuat. Sudah susah payah saya hibur hati dengan anggapan itu salah ketik belaka, tapi rasa-rasanya tidak mungkin. Rasanya saya menyalahkan orang yang semoga salah ketik itu, menganggapnya terlalu subjektif. Karena angka itu terlalu jauh untuk disebut salah ketik.

Begini: saya berpendapat bahwa guru harus menambah nilai anak yang baik. Misalnya ada kemauan, ada kemajuan, patuh, rajin, disiplin, jujur, santun, dan sifat-sifat baik lainnya. Atau mungkin anak yang nggak mudengan seperti saya tapi punya keinginan untuk bisa dan mau bertanya walaupun mungkin esok harinya lupa sehingga harus bertanya kembali. Atau berusaha mandiri saat ujian.

Tambah saja nilai mereka. Kalau nilai sebenarnya dibawah 75, tidak perlu ragu membuatnya menjadi 85 agar orang yang mendapat nilai 80 dari hasil kecurangan tetap di bawah. Tapi, kalau orang yang nilainya jelek, usahanya buruk, dan etikanya berantakan lalu ditambah nilainya bagaimana?

Lalu, apa solusi kalau guru salah ketik nilai di rapor? Kalau nilainya jadi lebih jelek ya diubah. Tapi kalau nilainya jadi lebih baik jangan diturunkan. Itu namanya menghukum murid atas kesalahan guru. Jadi, hal di atas seharusnya tidak terjadi. Tapi kalau sudah terjadi, itulah ketentuan Allah. Allah Maha Tahu, Allah Maha Pemberi, Allah Maha Berkehendak.

Baik, kita akan sampai pada bagian kesimpulan. Nasehat seorang ibu kepada anak-anaknya yang berkata, "Ini semua tidak adil!" Nasehat mulia seorang ibu yang visioner: "Tidak ada keadilan di dunia, karena hanya Allah Yang Maha Adil. Tidak ada manusia yang sempurna lagi sekarang, jadi jangan harapkan keadilan di sini dan sekarang. Tidak usah. Ada yang lebih penting lagi." Terimakasih kepada perempuan tercantik sedunia karena telah menjaga kami dalam pendapat ini dan mendengar keluh kesah kami dalam pendirian ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup