Konyol juga kalau dipikir, perempuan harus meringis terus di atas panggung macam lumba-lumba saja. Dengan cara berjalan yang diatur-atur, saya yakin mereka tidak pernah membaca tulisan Ibu Kartini tentang sopan santun dan tata krama adat yang berlebihan. Sesuatu yang didobrak pemikiran modern Ibu Kartini. Menganggap kecantikan dan kedudukan di atas kebaikan dan kecerdasan, mereka sungguh tidak pernah membaca surat Ibu Kartini, namun mengaku Kartini masa kini.
Menganggap Eropa lebih maju dalam memposisikan perempuan, padahal di sana tidak ada Ibu Kartini, Ibu Dewi Sartika, Ibu Laksamana Keumalahayati, Ibu Cut Nyak Dien, Ibu Cut Nyak Meutia, dan para perempuan hebat lainnya. Sementara perempuan Eropa yang banyak mereka kenal hanya dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Beauty and the Beast, Sleeping Beauty, dll yang kehebatan mereka berakhir dengan menikah dengan pangeran. Kecantikan, ketulusan, kebaikan hati, kemandirian, kecerdasan, dan semua potensi perempuan berakhir dengan menjadi istri pangeran? Murah sekali harga perempuan dalam dongeng itu.
Menganggap peradaban Eropa lebih maju padahal dalam surat Ibu Kartini menegur temannya, gadis Eropa, bahwa di Eropa banyak hal-hal yang tidak layak untuk disebut sebagai peradaban. Yah, kita semua tahu bahwa peradaban berasal dari kata dasar adab. Adab itu ada di sila kedua pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Berarti peradaban itu harus beradab. Apa itu peradaban? Peradaban adalah kebudayaan yang tinggi. Apa itu adab? Adab itu kan sopan santun, tata krama, tata cara yang baik dan benar.
Perempuan yang bermain putri-putrian, sesuatu yang tidak pernah dilakukan putri sejati, Ibu Kartini. Meskipun Ibu Kartini sebenarnya bukan tokoh idola saya meskipun sesuku. Saya lebih mengidolakan Cut Nyak Dien, atau Cut Nyak Meutia, atau tokoh lain yang kiprahnya lebih nyata. Ya, saya menyukai sesuatu yang lebih nyata.
Oleh karena itu, saya heran benar pada putri-putrian. Itu tidak nyata. Itu pemborosan. Itu aneh. Bahkan kalau saya masih SD, saya akan mengatakan: norak. Begitu banyak perempuan-perempuan yang menjadi tenaga kesehatan dan pendidikan di pedalaman, yang mengurus sampah dan listrik di kampungnya, menjadi penggerak kemandirian perempuan lainnya, tapi mereka tidak ditayangkan di televisi, tidak diberi uang banyak, tidak terkenal. Betapa dunia ini tidak adil bagi orang-orang hebat yang tidak terkenal, maksudnya, tidak diterkenalkan.
Apa sih putri yang asli itu? Putri itu kan artinya perempuan calon pemimpin. Tentu saja saya tidak akan memilih pemimpin yang menghabiskan berjam-jam untuk kursus berjalan, berdandan, dan hal-hal yang tidak nyata manfaatnya lainnya. Putri harus bermanfaat bagi orang banyak, cerdas, baik hati, dekat dengan banyk orang, santun, jujur, adil, pemberani, dan berwawasan luas. Tidak harus cantik, tinggi, kurus, bisa berjalan pakai sepatu konyol, ya, saya bilang sepatu konyol karena para perempuan hebat tidak memakainya saat melakukan hal hebat. Konyol karena saya tidak bisa memakainya. Itu menghambat saya, mengekang saya, menjajah saya, oh tidak, penghambat gerak inikah yang disebut modern?
Kontes putri-putrian sungguh tidak adil bagi perempuan manapun. Berapa banyak perempuan hebat yang tidak kurus, tidak tinggi, tidak bisa memakai sepatu hak tinggi, tidak memiliki bakat yang bisa dipamerkan, misalnya bakat memahami orang lain, penuh empati, menyelesaikan masalah, mau bekerja keras, rajin, sabar, itu tidak bisa dinilai. Maksud saya, tidak ternilai.
Saya baru saja membaca kisah seorang ibu pendiri komunitas yang merubah kampung sampah tak terkendali mejadi kampung yang dapat memilah dan mendaur ulang sampah, menambah penghasilan perempuan lainnya. Kartini masa kini sejati, membuat perempuan-perempuan lebih mandiri, sesuai cita-cita Ibu Kartini. Pendidikn kan tidak hanya sekolah, bisa juga pelatihan keterampilan daur ulang sampah, yang penting tujuannya kemampuan meningkat, sehingga bisa lebih mandiri, kemudian jadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan.
Sedihnya ada juara putri Indonesia yang dihukum karena ketidakjujurannya, siapa sih yang dulu memilihnya sebagai pemimpin? Sedihnya ada orang yang tidak lancar berbicara bahasa Indonesia, malah menjadi pemenangnya, oh ya, syaratnya kan lancar bicara bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Jangan-jangan itu menggambarkan banyak orang Indonesia yang lupa pada sumpah pemuda ya?
Mbak-mbak yang cantik, menjadi putri sejati atau putri-putrian adalah pilihan. Namun, ya, bukannya putri-putrian itu tidak hebat ya. Mungkin mereka sangat hebat, tapi saya tidak tahu. Saya kan suka pada sesuatu yang lebih nyata. Tidak hanya tujuan tanpa langkah. Saya secara pribadi tidak suka dengan putri-putrian, warna merah muda, bunga, boneka, dan dagangan lainnya. Saya tidak suka dengan hal-hal yang berbau feminim, saya tidak tahu apa arti kata itu, kalau menurut saya sih artinya female minim. Saya suka perempuan yang maksimal, bisa memaksimalkan potensinya, maksimal manfaatnya, nyata kiprah maksimalnya.
Penilaian yang sangat subjektif jika saya sebut siapa yang lebih hebat daripada yang lain, yang mungkin hebat tapi saya tidak tahu. Dan sungguh membosankan ketikan panjang berantakan ini, padahal saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak suka acara putri-putrian, kontes kecantikan, apapun namanya. Bagaimanapun bungkusnya.
Coba ada yang memikirkan ide gila saya. Bagaimana kalau Indonesia menghapus semua kompetisi yang berorientasi pada fisik? Bagaimana kalau seseorangg, siapapun beliau, pihak yang berwajib, menolak kompetisi fisik diselenggarakan di Indonesia, dan menolak ada anak bangsa yang mengikutinya. Karena itu tidak memajukan Indonesia sama sekali. Dan itu juga bertentangan dengan pemikiran Ibu Kartini. Juga bertentangan dengan keindonesiaan. Itu tidak nyata manfaatnya. Indonesia butuh orang pintar dan baik sebagai calon pemimpin, itu kan artinya putri, bukan orang cantik.
Lalu, menurut saya, para misatawan mancanegara akan datang berbondong-bondong ke Indonesia, Indonesia jadi terkenal, dihormati, dan disegani, karena menolak mengeksploitasi kecantikan. Lalu mereka terkesan pada Indonesia. Budayanya, alamnya, sopan santunnya, semuanya. Indonesia lebih berwibawa, lebih keren, lebih wow. Lalu saat pulang ke negerinya, mereka bercerita, "Indonesia mengesankan sekali." Itu kalau tujuannya pariwisata.
Kalau tujuannya kemajuan negara, sudah, hargai mahal saja orang-orang yang baik dn pintar di negara ini, buat anak bangsa jadi baik dan pintar semua, caranya tentu saja yang pertama adalah membuat mereka tahu bahwa baik dan pintar itu jauh lebih penting daripada cantik dan kaya.
Sampai jumpa di ketikan menolak acara putri-putrian lainnya. Ya ampun, sudah dewasa kok seperti anak TK saja.
Menganggap Eropa lebih maju dalam memposisikan perempuan, padahal di sana tidak ada Ibu Kartini, Ibu Dewi Sartika, Ibu Laksamana Keumalahayati, Ibu Cut Nyak Dien, Ibu Cut Nyak Meutia, dan para perempuan hebat lainnya. Sementara perempuan Eropa yang banyak mereka kenal hanya dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Beauty and the Beast, Sleeping Beauty, dll yang kehebatan mereka berakhir dengan menikah dengan pangeran. Kecantikan, ketulusan, kebaikan hati, kemandirian, kecerdasan, dan semua potensi perempuan berakhir dengan menjadi istri pangeran? Murah sekali harga perempuan dalam dongeng itu.
Menganggap peradaban Eropa lebih maju padahal dalam surat Ibu Kartini menegur temannya, gadis Eropa, bahwa di Eropa banyak hal-hal yang tidak layak untuk disebut sebagai peradaban. Yah, kita semua tahu bahwa peradaban berasal dari kata dasar adab. Adab itu ada di sila kedua pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Berarti peradaban itu harus beradab. Apa itu peradaban? Peradaban adalah kebudayaan yang tinggi. Apa itu adab? Adab itu kan sopan santun, tata krama, tata cara yang baik dan benar.
Perempuan yang bermain putri-putrian, sesuatu yang tidak pernah dilakukan putri sejati, Ibu Kartini. Meskipun Ibu Kartini sebenarnya bukan tokoh idola saya meskipun sesuku. Saya lebih mengidolakan Cut Nyak Dien, atau Cut Nyak Meutia, atau tokoh lain yang kiprahnya lebih nyata. Ya, saya menyukai sesuatu yang lebih nyata.
Oleh karena itu, saya heran benar pada putri-putrian. Itu tidak nyata. Itu pemborosan. Itu aneh. Bahkan kalau saya masih SD, saya akan mengatakan: norak. Begitu banyak perempuan-perempuan yang menjadi tenaga kesehatan dan pendidikan di pedalaman, yang mengurus sampah dan listrik di kampungnya, menjadi penggerak kemandirian perempuan lainnya, tapi mereka tidak ditayangkan di televisi, tidak diberi uang banyak, tidak terkenal. Betapa dunia ini tidak adil bagi orang-orang hebat yang tidak terkenal, maksudnya, tidak diterkenalkan.
Apa sih putri yang asli itu? Putri itu kan artinya perempuan calon pemimpin. Tentu saja saya tidak akan memilih pemimpin yang menghabiskan berjam-jam untuk kursus berjalan, berdandan, dan hal-hal yang tidak nyata manfaatnya lainnya. Putri harus bermanfaat bagi orang banyak, cerdas, baik hati, dekat dengan banyk orang, santun, jujur, adil, pemberani, dan berwawasan luas. Tidak harus cantik, tinggi, kurus, bisa berjalan pakai sepatu konyol, ya, saya bilang sepatu konyol karena para perempuan hebat tidak memakainya saat melakukan hal hebat. Konyol karena saya tidak bisa memakainya. Itu menghambat saya, mengekang saya, menjajah saya, oh tidak, penghambat gerak inikah yang disebut modern?
Kontes putri-putrian sungguh tidak adil bagi perempuan manapun. Berapa banyak perempuan hebat yang tidak kurus, tidak tinggi, tidak bisa memakai sepatu hak tinggi, tidak memiliki bakat yang bisa dipamerkan, misalnya bakat memahami orang lain, penuh empati, menyelesaikan masalah, mau bekerja keras, rajin, sabar, itu tidak bisa dinilai. Maksud saya, tidak ternilai.
Saya baru saja membaca kisah seorang ibu pendiri komunitas yang merubah kampung sampah tak terkendali mejadi kampung yang dapat memilah dan mendaur ulang sampah, menambah penghasilan perempuan lainnya. Kartini masa kini sejati, membuat perempuan-perempuan lebih mandiri, sesuai cita-cita Ibu Kartini. Pendidikn kan tidak hanya sekolah, bisa juga pelatihan keterampilan daur ulang sampah, yang penting tujuannya kemampuan meningkat, sehingga bisa lebih mandiri, kemudian jadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan.
Sedihnya ada juara putri Indonesia yang dihukum karena ketidakjujurannya, siapa sih yang dulu memilihnya sebagai pemimpin? Sedihnya ada orang yang tidak lancar berbicara bahasa Indonesia, malah menjadi pemenangnya, oh ya, syaratnya kan lancar bicara bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Jangan-jangan itu menggambarkan banyak orang Indonesia yang lupa pada sumpah pemuda ya?
Mbak-mbak yang cantik, menjadi putri sejati atau putri-putrian adalah pilihan. Namun, ya, bukannya putri-putrian itu tidak hebat ya. Mungkin mereka sangat hebat, tapi saya tidak tahu. Saya kan suka pada sesuatu yang lebih nyata. Tidak hanya tujuan tanpa langkah. Saya secara pribadi tidak suka dengan putri-putrian, warna merah muda, bunga, boneka, dan dagangan lainnya. Saya tidak suka dengan hal-hal yang berbau feminim, saya tidak tahu apa arti kata itu, kalau menurut saya sih artinya female minim. Saya suka perempuan yang maksimal, bisa memaksimalkan potensinya, maksimal manfaatnya, nyata kiprah maksimalnya.
Penilaian yang sangat subjektif jika saya sebut siapa yang lebih hebat daripada yang lain, yang mungkin hebat tapi saya tidak tahu. Dan sungguh membosankan ketikan panjang berantakan ini, padahal saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak suka acara putri-putrian, kontes kecantikan, apapun namanya. Bagaimanapun bungkusnya.
Coba ada yang memikirkan ide gila saya. Bagaimana kalau Indonesia menghapus semua kompetisi yang berorientasi pada fisik? Bagaimana kalau seseorangg, siapapun beliau, pihak yang berwajib, menolak kompetisi fisik diselenggarakan di Indonesia, dan menolak ada anak bangsa yang mengikutinya. Karena itu tidak memajukan Indonesia sama sekali. Dan itu juga bertentangan dengan pemikiran Ibu Kartini. Juga bertentangan dengan keindonesiaan. Itu tidak nyata manfaatnya. Indonesia butuh orang pintar dan baik sebagai calon pemimpin, itu kan artinya putri, bukan orang cantik.
Lalu, menurut saya, para misatawan mancanegara akan datang berbondong-bondong ke Indonesia, Indonesia jadi terkenal, dihormati, dan disegani, karena menolak mengeksploitasi kecantikan. Lalu mereka terkesan pada Indonesia. Budayanya, alamnya, sopan santunnya, semuanya. Indonesia lebih berwibawa, lebih keren, lebih wow. Lalu saat pulang ke negerinya, mereka bercerita, "Indonesia mengesankan sekali." Itu kalau tujuannya pariwisata.
Kalau tujuannya kemajuan negara, sudah, hargai mahal saja orang-orang yang baik dn pintar di negara ini, buat anak bangsa jadi baik dan pintar semua, caranya tentu saja yang pertama adalah membuat mereka tahu bahwa baik dan pintar itu jauh lebih penting daripada cantik dan kaya.
Sampai jumpa di ketikan menolak acara putri-putrian lainnya. Ya ampun, sudah dewasa kok seperti anak TK saja.
Komentar
Posting Komentar