Langsung ke konten utama

Mentoring Sebagai Solusi Terorisme

Coba baca buku "Membentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah Perang Global Melawan Terorisme". Itu buku yang luar biasa, membuat aku berpikir, mengapa tidak pernah terpikir untuk masuk HI? Padahal cita-citanya kan menteri luar negeri? Aneeh. Buku itu menjelaskan secara sangat objektif dan ilmiah menurutku. Hati-hati dan jelas.

Membacanya mengingatkan hutang kalimat: "Mentoring Sebagai Solusi Terorisme". Gemas sekali mendengar pernyataan Pak Polisi yang tayang di TV. Katanya remaja rawanlah, agamawan tidak perhatianlah, halaah, berlebihaan. Di semua SMA negeri di Jogja sih, mentoring itu wajib bagi kelas X dan sunnah bagi kelas XI dan XII. Dan, selesailah masalah. Mentoring itu kan belajar Islam dari dasar. Syahadat, sholat, puasa, iman, berbakti pada orang tua, menuntut ilmu, berjilbab, asik bener lah. Lha, kalau ada yang suka bicara agama tapi nggak mentoring, nggak rohis, nggak mau dateng pengajian, langsung kena kan?

Tapi apa ya ada? Yakin itu bukan masalah sederhana? Itu cuma sedikit orang mah, kita harus berani. Kalau kita takut usahanya teroris berhasil dong. Tujuannya teroris kan bikin takut. Lagian semuanya terduga kan? Alamak Pak Polisi, masalah narkoba sama korupsi aja belum beres. Yang udah jelas salah didiskon hukuman. Ealah yang masih diduga, tersangka aja enggak, berarti belum ada dua bukti ya, udah asal ditembak. Mana yang ditembak orangnya rumahnya jelek-jelek pula. Saya tidak cukup konyol untuk menganggap orang semiskin itu bersenjata. Maksimal pedagang mercon kecil-kecilan yang harganya seribuan perak itulah.

Jangan mikir yang jelek-jelek dulu sama orang cadaran ya. Aku nggak setuju orang pakai cadar di Indonesia. Tapi aku pernah punya teman masa kecil bercadar. Dia dan keluarganya sangat baik, sopan, supel, ramah, dermawan, kaya tapi tidak sombong, tidak manja, mau bermain kotor-kotor, kreatif, periang. Dia teman yang paling ramah dan sopan, jauh daripada para guru bahkan.

Nggak usah percaya gosip deh, jangan mau dibodohin. Aku kenal lhoh, akrab lhoh, yakin yang di TV lebih akurat? Mau tak ajak ke rumahnya po? Ayo!

Aku masih berantakan.
Arina Dina Hanifa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup