Langsung ke konten utama

Perendahan Perempuan di dalam Budaya

Kita tahu kisah yang ditulis seorang penulis Eropa berjudul Cinderella. Ia cantik, cerdas, baik hati, dan rajin. Ia diberi semua pekerjaan di rumah tapi semua ia kerjakan dengan baik. Ia dianaktirikan tapi ia tak pernah dendam dan selalu menyayangi ibu dan saudara tirinya.

Tapi apa yang ia dapat dari kelebihan-kelebihannya? Menikah dengan pangeran. Hanya itu? Semurah itu harga kebaikannya? Semahal apa pangeran itu sehingga Cinderella yang "sempurna" dihadiahi pangeran sebagai akhir dari perjuangan hidupnya?

Kita semua juga tahu cerita Bawang Merah dan Bawang Putih. Mirip dengan Cinderella. Entah cerita mana yang muncul lebih dulu. Dan entah apakah kedua cerita ini muncul dari induk cerita rakyat yang sama. Kita juga tahu banyak dongeng bertokoh utama perempuan yang cantik dan baik hati berakhir sama.

Semurah itukah harga seorang perempuan? Hanya pangeran? Atas ketulusannya, hatinya yang tanpa dendam, ketekunannya, kecantikannya, keanggunannya, kecerdasannya, dan hanya itu akhirnya? Sangat tidak sebanding dan sangat tidak adil!

Itukah yang dinilai dari perempuan? Yang terbaik adalah yang tercantik. Ini yang kemudian menjadi dasar diadakannya kontes-kontes konyol yang tidak masuk akal. Bukannya iri, saya tidak bercita-cita cantik. Sungguh. Kontes-kontes konyol itu payah sekali. Putri-putrian yang tidak masuk akal.

Setiap perempuan itu terhormat. Masa Bawang Merah Bawang Putih dan Cinderella sudah lewat. Setiap perempuan itu hebat meski tingginya tidak sampai 165, meski tidak cantik. Tidak usah termakan iklan harus putih, kurus, tinggi, rambut panjang, dan lain-lainnya. Jadilah perempuan yang tidak mudah dibodohi para pebisnis. Perempuan, menjadi konsumen setia pebisnis ketidakpercayadirian tidak membuatmu mulia.

"Perempuan banyak yang tidak bersyukur. Yang gemuk ingin lebih kurus, yang kurus ingin lebih gemuk. Yang berkulit cerah ingin lebih gelap, yang berkulit gelap ingin lebih cerah. Yang tinggi ingin lebih pendek, yang pendek ingin lebih tinggi. Yang rambutnya keriting ingin lurus, yang rambutnya lurus ingin keriting. Yang rambutnya berwarna ingin hitam, yang rambutnya hitam ingin berwarna. Mereka menjadi objek bisnis ketidakpercayadirian." (Kata Bapak Terbaik :D)

Udah, jadi perempuan yang rajin, biar pinter, bisa bermanfaat buat orang lain.Emang kalo cantik dan tinggi bisa mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan, membangun karakter bangsa, memberdayakan masyarakat, mengurangi pengangguran, menjaga kelestarian flora dan fauna, mengurangi sampah, mencegah pemanasan global, weleh-weleh, mau miss-missan itu tiap bulan ada di Indonesia juga nggak bikin masalah-masalah beres.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup