"Hanifa mah nggak takut hantu, orang sama ***** aja nggak takut."
Tengah malam, saya teringat kata-kata itu. Tersenyum lebar karenanya. Tertawa kecil mengenangnya. Kata-kata itu sangat berharga. Karena saya orang yang penakut.
Saya
takut pada banyak hal. Banyak sekali. Kalau hidup di film Divergent dan ikut
inisiasi faksi Dauntless, pasti saya paling lama keluar dari ruang ketakutan.
Saya merasa selalu menjadi anak penakut. Kata ibu saya, saya mulai menjadi
penakut sejak tenggelam di kolam ikan tetangga.
Saya
tidak ingat pernah berani, meskipun diceritakan saya dulunya lincah sekali. Yang
ada dalam ingatan saya hanya ketakutan. Takut banyak hal. Penakut sekali,
selalu ragu-ragu, tidak percaya diri, dan pasif.
Karena
punya banyak ketakutan, saya selalu membisikkan dalam diri sendiri: “Orang yang
pemberani bukan yang tidak punya ketakutan, tapi yang punya banyak ketakutan
dan menghadapinya.” Kita tidak bisa memilih akan takut pada apa, tapi kita
selalu bisa menentukan apakah akan menjadi berani atau tidak.
Saya
tidak tahu menghadapi ketakutan itu seperti apa. Selama ini saya menghadapi
ketakutan dengan berpura-pura berani. Saya pura-pura berani kegelapan dan
kesepian. Saya menaiki tangga ke tempat yang tinggi meski kaki gemetaran dan
tangan berpegangan pada induk tangga sepanjang jalan. Saya berbicara dan
tertawa seolah tidak ada apa-apa walaupun kepala saya terasa pening.
Saya
tidak bisa memperlihatkan ketakutan ketika orang-orang di sekitar saya takut.
Saya tidak bisa memperlihatkan keminderan ketika orang-orang di sekitar saya
minder.
Tapi
saya tidak selalu bisa berpura-pura.
Komentar
Posting Komentar