Langsung ke konten utama

Sejarah xia sem1

 CIRI-CIRI MASJID KUNO ISLAM

Arsitektur Masjid Kuno di Indonesia
Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana. Sehingga keberadaannya kurang mendapat perhatian dalam literatur-literatur umumnya yang memaparkan arsitektural Islam di seluruh dunia. Padahal kemegahan arsitekural masa sebelumnya (sebelum Islam masuk ke Indonesia) sangatlah menonjol, hal ini dapat kita saksikan pada karya-karya bangunan suci seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Fenomena ini tentunya sangatlah menarik untuk dikaji, sebab ada suatu asumsi bahwa arsitektur masjid suatu tempat/wilayah seringkali dipengaruhi oleh kondisi setempat, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk.

Menurut Wiyoso Vudoseputro (1986: 13) hal tersebut dikarenakan gairah mencipta karya seni tidak begitu raja muncul, artinya perlu ada rangsangan. Rupa-rupanya kondisi kebudayaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan dan peperangan yang terus¬menerus antar-kekuasaan dan melawan kekuasaan asing dapat mengurangi gairah mencipta. Keadaan tersebut menjadikan arsitektur kuno Islam di Indonesia seakan-akan kembali kepada tradisi bangunan kayu.

Pendapat di atas sebelumnya pernah disampaikan oleh Sutjipto Wirjosuparto (1961-1962: 65-67). la mengatakan bahwa tradisi bangunan kayu merupakan tradisi yang berasal dari masa prasejarah, masa sebelum masyarakat Indonesia menerima pengaruh Hindu-Budha yang kemudian mengenalkan konstruksi batu dalam bidang seni bangunan.

Berdasarkan bentuknya, W.F. Stutterheim berpendapat bahwa ruang-ruang yang kecil atau sempit pada candi tidak mungkin dapat dijadikan model sebuah masjid yang memerlukan ruang besar guna keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, is berpendapat bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) sebagai model masjid. Bangunan ini ialah bangunan khas dari masa pm-Islam yang kini masih ditemukan di Bali. Denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi¬sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada sisi barat diberi bagian mihrab, maka jadilah is memenuhi syarat sebagai bangunan masjid (Stutterheim 1953: 153-140).

H.J. de Graaf menyanggah pendapat di atas, menurutnya tidaklah mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan tempat menyambung ayam sebagai model masjid. Selain itu wantilan atapnya tidak bertingkat seperti atap masjid kuno, hanya ditemukan di Jawa dan Bali, serta tidak memiliki serambi. la mengajukan pendapat bahwa model masjid-masjid kuno di Indonesia berasal dari wilayah Gujarat, Kashmir, dar Vishir (116). Bukti yang memperkuat pendapatnya adalah hasil telaahrrya atas urataa data Nog clitsmat dell Jan Huygens van Linschoten (seorang Belanda yang mengunjungi lira pada abed X1) tentang masjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat sena beratap an** Sahh satu dari tingkat tersebut digunakan untuk belajar asama. Hal demikian ditemukan jugs olleh Graaf pada Masjid Taluk, Sumatera Barat (Graaf 1947/1848: 298). Berdasarkan data banding inilah is kemudian menggeneralisasilcamlya untuk seluruh masjid tradisional di Indonesia hingga menghasilkan teori seperti di atas.

Teori Graaf disanggah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang rnengatalcan bahwa hasil perbandingannya tidak tepat. Menurutnya kendati sama-sama memiliki atap bertingkat, namun terdapat perbedaan prinsipil antara masjid di Malabar dan Masjid Taluk tersebut. Masjid di Malabar mempunyai denah empat persegi panjang, sedangkan masjid di Taluk berdenah bujur sangkar. Sementara itu masjid di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang berbentuk pant, sebaliknya hal itu ditemukan di Taluk.

Selanjutnya Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya sebagai model masjid-masjid tua di Indonesia.

Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih Bari atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar (Wirjosuparto 1961/1962; 1986).

Menyinggung tentang persamaan-persamaan yang ada pada masjid di. Malabar dan di Taluk, Sutjipto menjelaskan bahwa memang telah terjadi `pertumbuhan yang sejajar' diantara keduanya (India dan Indonesia) pada waktu itu. Ini disebabkan di kedua tempat itu bangunan mandapa telah sama-sama dimodifikasi menjadi bagian Bari suatu rumah untuk kemudian dijadikan dasar bangunan masjid. Jadi sekali lagi persamaan-persamaan itu tidaklah berarti masjid di Taluk mencontoh masjid di Malabar.

Sedangkan menurut C.F. Pijper (1992: 24), Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe Jawa ialah:

1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi;
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;
3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab;
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;
6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat;
8. Dibangun di sebelah barat alun-alun;
9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;
10.Dibangun dari bahan yang mudah rusak;
11. Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;
12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja).

Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa masjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Fondasi yang berbentuk persegi itu dikenal juga dalam bangunan Hindu-Jawa, yaitu: candi yang masih terdapat di Pulau Jawa. Kemudian, candi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fondasi, candi itu sendiri, dan atap. Tidak sulit untuk melihat bahwa dasar fondasi masjid yang padat itu merupakan sisa bentuk fondasi candi. Fondasi ini selalu ada pada setiap masjid.

Bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola bangunan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan di puncaknya terdapat hiasan. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Kita hams mengembalikannya kepada meru di Bali, menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).

Mungkin atap yang tinggi itu dahulu terdapat di Jawa, tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti yang terdapat di Bali, maka atap itu mudah musnah dan dilupakan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694, mengatakan: voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat) (Pijper 1992: 25).

Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar', tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang kemudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi

Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat ma§jid. Contohnya makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya. Makam yang sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti: pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah makam Sunan Gin di Gresik. Demikian pula makam Sunan Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara. Makam¬makam yang lebih kecil kerapkali terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatianom, Surakarta.

Serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambahan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab, semuanya tanpa serambi. Juga tidak ada serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.

Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.

Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.

Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.

Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang-kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.

Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.

Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.

Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.

Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.

Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.

Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil sambung-menyambung dari bawah sampai ke atas. Begitu juga Masjid Asasi Nagari Gunung, Padangpanjang yang beratapkan ijuk yang meruncing, bersusun tiga tingkat dengan teratur.

Masjid Pontianak. Masjid ini merupakan salah satu masjid kuno di Kalimantan Barat yang menggunakan konstruksi kayu, berdiri di atas tiang, dan terletak di pinggir sungai. Secara umum, di Kalimantan Barat dan Selatan banyak didapati masjid-masjid yang dibangun di pinggir sungai, karena sungai merupakan salah satu sarana transportasi yang pertting. Model atapnya bertingkat¬tingkat dengan lapisan atasnya dibentuk menyerupai kubah yang unik, sehingga mirip bangunan sebuah lonceng. Kubah ini dikelilingi oleh empat buah kubah kecil yang lain pada tiap-tiap sudut masjid. Kubah-kubah kecil itu sepintas lalu menyerupai menara tempat azan.

Karena air. sungai sering pasang-surut, maka jalan dari tepi sungai ke masjid cukup sukar. Maka dibuat jembatan yang panjang dari pinggir sungai sampai ke pintu masjid itu, dan di ujung jembatannya disediakan sebuah pangkalan yang diberi atap, tempat orang turun naik ke dalam perahu.

Di Sulawesi, Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid kuno yang banyak dikunjungi masyarakat. Atapnya tumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Di antara tiap-tiap tingkatan atap terdapat jendela kaca.


ATURAN TANAM PAKSA


Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
  • Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa

HAK-HAK VOC






Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
  • Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
  • Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
  1. memelihara angkatan perang,
  2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
  3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda,
  4. memerintah daerah-daerah tersebut,
  5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
  6. memungut pajak.


PRESTASI SULTAN AGUNG (RAJA BESAR MATARAM)



PENGARUH HINDU BUDHA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA

Masuknya pengaruh unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan menambah khasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan.

1. Agama
Ketika memasuki zaman sejarah, masyarakat di Indonesia telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat mulai menerima sistem kepercayaan baru, yaitu agama Hindu-Buddha sejak berinteraksi dengan orang-orang India. Budaya baru tersebut membawa perubahan pada kehidupan keagamaan, misalnya dalam hal tata krama, upacara-upacara pemujaan, dan bentuk tempat peribadatan.

2. Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan oleh orang-orang India. Dalam sistem ini kelompok-kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku yang terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Oleh karena itu, lahir kerajaan-kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.

3. Arsitektur
Salah satu tradisi megalitikum adalah bangunan punden berundak-undak. Tradisi tersebut berpadu dengan budaya India yang mengilhami pembuatan bangunan candi. Jika kita memperhatikan Candi Borobudur, akan terlihat bahwa bangunannya berbentuk limas yang berundak-undak. Hal ini menjadi bukti adanya paduan budaya India-Indonesia.

4. Bahasa
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia meninggalkan beberapa prasasti yang sebagian besar berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Dalam perkembangan selanjutnya bahkan hingga saat ini, bahasa Indonesia memperkaya diri dengan bahasa Sanskerta itu. Kalimat atau kata-kata bahasa Indonesia yang merupakan hasil serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu Pancasila, Dasa Dharma, Kartika Eka Paksi, Parasamya Purnakarya Nugraha, dan sebagainya.

5. Sastra
Berkembangnya pengaruh India di Indonesia membawa kemajuan besar dalam bidang sastra. Karya sastra terkenal yang mereka bawa adalah kitab Ramayana dan Mahabharata. Adanya kitab-kitab itu memacu para pujangga Indonesia untuk menghasilkan karya sendiri. Karya-karya sastra yang muncul di Indonesia adalah:
  1. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa,
  2. Sutasoma, karya Mpu Tantular, dan
  3. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca.

B.Pengaruh Perkembangan Tradisi Hindu – Budha Terhadap Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Pada Masa Kerajaan-kerajaan Hindu – Budha di Indonesia

C.Pengaruh Perkembangan Tradisi Hindu – Budha Terhadap Pendidikan Pada Masa Kerajaan-kerajaan Hindu – Budha di Indonesia

D.Pengaruh Perkembangan Tradisi Hindu – Budha Terhadap Kesenian Pada Masa Kerajaan-kerajaan Hindu – Budha di Indonesia

E.Pengaruh Perkembangan Tradisi Hindu – Budha Terhadap Teknologi Pada Masa Kerajaan-kerajaan Hindu – Budha di Indonesia

1. Bidang Sosial
Setelah masuknya agama Hindu terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas kasta.
2. Ekonomi
Dalam ekonomi tidak begitu besar pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah mengenal pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan
Sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh kepala suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok lainnya. Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun. Serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.
4. Bidang Pendidikan
Masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis.
Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu :
ü Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.
ü Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai kerajaan di Indonesia.
ü Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha. Contoh :
· Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha
· Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha
· Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana
· Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama
· Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.
ü Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini.
Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra.
Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat asal.
Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India)
5. Kepercayaan
Sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia, bangsa Indonesia mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Budha mendorong masyarakat Indonesia mulai menganut agama Hindu-Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Telah terjadi semacam sinkritisme yaitu penyatuaan paham-paham lama seperti animisme, dinamisme, totemisme dalam keagamaan Hindu-Budha.
Contoh :
Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
6. Seni dan Budaya
Pengaruh kesenian India terhadap kesenian Indonesia terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini:
Seni Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha, hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni Rupa
Seni rupa tampak berupa patung dan relief.
Patung dapat kita lihat pada penemuan patung Budha berlanggam Gandara di Bangun Kutai. Serta patung Budha berlanggam Amarawati di Sikending (Sulawesi Selatan). Selain patung terdapat pula relief-relief pada dinding candi seperti pada Candi Borobudur ditemukan relief cerita sang Budha serta suasana alam Indonesia.
Periode
Patung
Relief
Periode Awal
Patung para dewa Hindu-Budha seperti Brahma, Wisnu, Siwa
Berciri Naturalis (alami) misalnya relief candi Borobudur menggambarkan kehidupan Sidharta Gautama. Sedangkan relief Prambanan mengambarkan Ramayana dan Kresnayana.
Periode Tengah
Di Jawa Timur dibuat patung raja-raja di Indonesia yang merupakan titisan para dewa. Contoh Patung Tribuana sebagai Parwati/Kertanegara sebagai Siwa.
Di Jawa Timur unsur Indonesia semakin kuat tamapk pada relief Candi Panataran yang tidak naturalis melainkan bergaya wayang. Menunjukkan pada kepercayaan memuja roh nenek moyang.
Periode Akhir
Patung di Bali sudah banyak menggambarkan makhluk-makhluk seram (demon)
Di Bali relief yang mencolok berupa candi-candi yang dibuat di tebing sungai merupakan makam raja seperti yang ada di Gunung Kawi (Tampak Siring)
Seni Sastra dan Aksara
Periode awal di Jawa Tengah pengaruh sastra Hindu cukup kuat.
Periode tengah bangsa Indonesia mulai melakukan penyaduran atas karya India.
Contohnya: Kitab Bharatayudha merupakan gubahan Mahabarata oleh Mpu Sedah dan Panuluh. Isi ceritanya tentang peperangan selama 18 hari antara Pandawa melawan Kurawa. Para ahli berpendapat bahwa isi sebenarnya merupakan perebutan kekuasaan dalam keluarga raja-raja Kediri.
Prasasti-prasasti yang ada ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Bahasa Sansekerta banyak digunakan pada kitab-kitab kuno/Sastra India. Mengalami akulturasi dengan bahasa Jawa melahirkan bahasa Jawa Kuno dengan aksara Pallawa yang dimodifikasi sesuai dengan pengertian dan selera Jawa sehingga menjadi aksara Jawa Kuno dan Bali Kuno. Perkembangannya menjadi aksara Jawa sekarang serta aksara Bali. Di kerajaan Sriwijaya huruf Pallawa berkembang menjadi huruf Nagari.
7. Bidang Teknologi
Masyarakat Indonesia dari sebelum masuknya agama Hindu-Budha sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha di Indonesia semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki bangsa Indonesia sebelumnya. Pengaruh Hindu-Budha terhadap perkembangan teknologi masyarakat Indonesia terlihat dalam bidang kemaritiman, bangunan dan pertanian.
Perkembangan kemaritiman terlihat dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan, ekspedisi pelayaran dan perdagangan antar negara. Selain itu, bangsa Indonesia yang awalnya baru dapat membuat sampan sebagai alat transportasi kemudian mulai dapat membuat perahu bercadik.
Perpaduan antara pengetahuan dan teknologi dari India dengan Indonesia terlihat pula pada pembuatan dan pendirian bangunan candi baik candi dari agama Hindu maupun Budha.
Bangunan candi merupakan hasil karya ahli-ahli bangunan agama Hindu-Budha yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Selain itu terlihat dalam penulisan prasasti-prasastri pada batu-batu besar yang membutuhkan keahlian, pengetahuan, dan teknik penulisan yang tinggi. Pengetahuan dan perkenalan teknologi yang tinggi dilakukan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang pada zaman masuknya Hindu-Budha di Indonesia. Tampak pada relief candi yang menggambarkan teknologi irigasi pada zaman Majapahit.
8. Sistem Kalender
Diadopsi dari sistem kalender/penanggalan India. Hal ini terlihat dengan adanya :
· Penggunaan tahun Saka di Indonesia. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka yang dimulai tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah) pada waktu raja Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari.


http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/04/arsitektur-masjid-kuno.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel#Aturan
http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie#Hak_istimewa
http://books.google.co.id/books?id=YlBsbH0AX6gC&pg=PA67&lpg=PA67&dq=prestasi+sultan+agung+raja+besar+mataram&source=bl&ots=3A6JXPvnjJ&sig=RJZmKyv8PWS9pNIfrbEvwUrhtxU&hl=id&ei=ojndTuPyJcvrrQeMsPW5DQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=5&ved=0CDUQ6AEwBA#v=onepage&q&f=false
http://kotagedeensiklop.blogspot.com/2010/06/agung-sultan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram
http://senyawa-kimia.blogspot.com/2010/02/perkembangan-tradisi-hindu-budha-di.html
http://medanbung.wordpress.com/2008/12/17/proses-masuk-dan-berkembangnya-pengaruh-hindu-buddha-di-indonesia/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).