Langsung ke konten utama

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget]



Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda.

Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup berpendidikan (minimal saya udah mahasiswa lah, sementara rata-rata pendidikan orang Indonesia cuma 5,8 tahun [dari merdeka.com] kan udah di atas rata-rata banget itu) nggak ngerti sama sekali mereka ini ngomongin apa, merjuangin apa, apa saya yang kudet, tapi saya tanya orang yang lebih nggak kudet dari saya dia juga nggak ngerti. Kan kasian mereka, udah capek-capek, tapi bahkan yang pengen tahu apa yang mereka perjuangin pun nggak dapet jawabannya.

Nah, tadi itu prolog. Sekarang cerita baru akan dimulai. Dari jaman purba, kalo ada foto yang menggambarkan sebuah aksi massa, entah kenapa sudut pengambilan gambarnya beda-beda. Sebenarnya apa sih yang dicari dari sebuah foto demo? Jumlah orangnya kah, pesan di atributnya kah, orasi atau teatrikal atau apapunlah di titik kumpulnya kah, kondisi barisan terdepannya kah?

Sebenernya saya mau membandingkan beberapa foto aksi massa. Biasanya kan aksi solidaritas untuk Palestina fotonya dari atas tuh, saya gagal menemukan ide aksi apa yang fotonya memamerkan jumlah massa aksi. Ini contohnya:

Di atas itu fotonya KNRP. Ah, ada aksi di Mesir juga yang seperti itu sudut pengambilan gambarnya. Ini fotonya sumbernya dari Aljazeera.

Oke, saya kebanyakan maen sama orang lembaga dakwah nih, jadi fotonya begituan. Coba cari yang laen ah.




Ada juga foto yang sudut pengambilan gambarnya dari depan dan tidak memamerkan jumlah massa aksi. Misalnya begini nih:







Udah udah. Yang jelas, kalau fotonya tidak memamerkan massa aksi (biasanya difoto dari depan), pembaca tidak dapat mengira-ira, apakah jumlah massa aksi yang beritanya menyertai foto tersebut benar atau tidak. Ya, kita kitak tahu kan, berapa jumlah orang di belakang mereka? Atau lebih jahatnya, kita nggak tau, apakah di belakang mereka ada orang atau tidak.

Ya, bisa jadi jumlah massa aksi yang sebenarnya jauh lebih banyak atau lebih sedikit dari yang diberitakan. Tapi bukan berarti tujuan menampilkan gambar depan massa aksi bertujuan untuk menyembunyikan jumlah massa aksi kan. Bisa saja karena ada hal menarik di depan. Dorong-dorongan pagar misalnya? Duh, saya jadi ingat meme yang saya lihat entah kapan dari mana karena saya lupa, foto seorang perempuan dengan telunjuk teracung ke sebuah tempat, berdiri menghadap seorang laki-laki. Sepertinya mereka masih mahasiswa. Lalu bertuliskan: "Antum ikhwan kan?" dan "Jadi border sana". Entah kenapa, bikin senyum aja. Kalo yang ini, menurut saya yang memotret mungkin teman mereka. Ya, siapa yang bisa memotret di tengah massa aksi kalo bukan massa aksi juga? Dan, ngapain pencari berita memotret massa aksi yang tidak menunjukkan jumlah atau atribut, di tengah lagi.

Ceritanya selesai. Oh iya, sebenarnya saya tadi mencari ilustrasi massa aksi. Tapi selalu saja ada siluet perempuan yang bajunya ketat. Oke, minimal menurut saya ketat. Jadi saya malu deh untuk menambahkan gambar itu.

Ya, orang dewasa berkembang pesat kognitifnya. Tidak lagi egosentris, juga memahami bahwa sebuah objek yang sama dapat ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).