Langsung ke konten utama

Ketika Saya Bicara Cinta di Masa UAS

Kuliah tiga semester telah mengubah saya. Dan saya baru sadar. Dua kali mencoba mengetik beberapa kalimat tentang kepemimpinan lembaga, dan bahasa yang muncul sangat nyikologis: cinta. Saya gagal menemukan diksi lain yang tidak menyakiti siapapun. Seperti gagalnya saya untuk tidak peduli, apakah akan ada yang tersakiti atau tidak. Padahal merasa tersakiti adalah urusan seseorang dengan pengelolaan perasaannya sendiri. Bukankah hati kita tidak akan sakit bila tidak kita ijinkan untuk sakit?

Mungkin bagi yang tidak kenal saya, bisa berpikir yang macam-macam. Saya pantang bicara cinta-cintaan, apalagi rangga-ranggaan *efek AADC*. Tapi ketika akhir-akhir ini saya mengetikkan kata cinta, adalah karena saya merasa tidak sanggup ketika harus menulis "berusaha menjadi orang yang dapat memberikan kontribusi sebesar mungkin bagi lembaga". Selain karena merasa bahasa tersebut beraroma golongan tertentu (saya sungguh-sungguh merasa begitu, tapi saya juga belum menemukan diksi yang lain), juga karena saya merasa klausa dalam tanda petik tadi jauh lebih cinta dari pada cinta. Jauh lebih memuat tersipu malu. Entah mengapa saya berpikir begitu.

Saya pantang bicara cinta-cintaan, tinta-tintaan (ini gara-gara poster pemira psikologi "tinta pemira dapat hilang dalam dua hari, tapi tintaku padamu..."), sinta-sintaan (ini gara-gara video ada apa dengan sinta), binta-bintaan (oke, kalo yang ini nama orang), apa lagi minta-mintaan. Tapi kali ini saya terpaksa mengetik kata yang bertahun-tahun jadi pantangan. Semua gara-gara musim sekitar UAS yang panas ini. Musim (harusnya) hujan, tapi kampus panas. Musim regenerasi lembaga dimana-mana.

Dan saya berharap dapat menemukan diksi yang lain, yang dapat menggantikan kata cinta. Saya ingin segera menggantinya. Saya masih sangat risih dengan kata luar biasa baper nan gombal itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).