Langsung ke konten utama

Ceritaku, Ceritamu, Ceritanya, Cerita Kami, Cerita Mereka, Cerita Kita

Ini tentang wajahmu yang kulihat hari itu makin ayu. Apakah karena bros barumu? Atau warna merah muda jilbabmu? Atau gaya jilbabmu yang berbeda, mengesankan lebih ceria. Dan senyum yang tidak bisa kutahan saat temanmu memanggilmu. Uh, mengapa menurutku itu lucu, ya?

Lalu tentang hari yang lainnya. Saat kita membajak forum. Duh, forum lembaga ini nyaris tak pernah sepi dari bajakan. Membajak forum adalah kata yang kugunakan untuk menceritakan bagaimana dalam suatu agenda milik suatu lembaga, dibicarakan "hal-hal yang tidak berhubungan sama sekali dengan lembaga tersebut dan justru berhubungan dengan lembaga lain". Saking seringnya, seorang adik mengatakan, "Mbak, aku seneng deh, bisa update banyak informasi di sini. Aku kan aktifnya di ranah minat bakat ya mbak, jadi sering nggak tau info macem-macem kayak gini. Untungnya aku di sini, jadi aku bisa denger banyak info. Tau nggak mbak, kalo aku di situ, kan seharusnya aku jadi tau macem-macem ya, tapi kenyataannya enggak. Di sana cuma boleh ngomongin kami doang." Ah dek, seandainya kamu tahu separah apa pembajakan forum di sini. Jujur, aku sering sampai jengah. :)

Dan di situ, kita membajak forum. Kamu mempertanyakan, mengapa kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, padahal kamu pantas. Kamu malah diberi sesuatu yang lain. Dan apa yang kamu inginkan justru diberikan pada orang lain, orang yang kamu bantu untuk mendapatkannya. Dan aku hanya bisa mengatakan, dulu aku juga merasakan hal yang sama.

 Lalu tentang hari yang lainnya. Saat kamu dengan wajah pucat kembali membajak forum bersamaku. Membicarakan kesamaan antara kamu, aku, dan yang lainnya. Kesamaan fisik dan karakter yang isa jadi membuat kami dipersatukan.

Kemudian saat itu datang. Saat ketika satu ruangan diam setelah dilempar sebuah pertanyaan. Sedetik kemudian kamu mengangkat tangan. "Saya tidak mengusulkan nama. Saya mau mengajukan diri untuk melakukan tugas tersebut." "Solutif!" Aku menjerit gembira dalam hati. Beberapa hari terakhir ini aku dihadapkan pada cerita-cerita yang membuatku gemas. Tentang orang yang kritis nan idealis (yah setidaknya dia merasa begitu) yang marah, mengkritik, mencela, harusnya begini harusnya begitu, tapi ketika tiba pada solusi hanya berkata "enggak". Tanpa niat usaha sedikitpun. Ini emang pengen perbaikan, atau hanya ingin protes? Dan kini, di sebelahku, ada orang yang sangat solutif: kamu. Lalu aku pun mengikuti jejakmu.

Setelah itu aku berkata, "Aku tahu kenapa" Kamu mendekatkan telinga. "Aku tahu kenapa kita sama-sama tidak mendapatkan apa yang kita minta, malah ditempatkan di sana." "Karena kita dipandang punya bakat nggak cuma kritis, tapi juga solutif. Karena kita dianggap punya potensi nggak cuma think, tapi juga do. Karena kita diharapkan akan proaktif, tidak hanya reaktif." "Itu kelihatan dari tindakan menawarkan bantuan." Kamu tersenyum kalem. Kemudian bercerita tentang penerimaan diri yang telah kamu lakukan, dan curhatmu pada ibumu.

Kamu harus tahu. Aku bersyukur akan dibersamai kalian. Entahlah, mungkin kalian sedih dibersamai aku. Tapi aku akan mengubahnya. Kita akan bersama, oke, cukup cukup. Saya hampir banget, hampir pake banget nget nget nget nget, nulis "bersama, berkarya :)". Tapi baru nulis bersamanya doang, saya inget itu berhubungan dengan partai tertentu. Kita akan, ya, kamu tahu maksudku kan. Kita akan memberikan sumbangsih, memperjuangkan aspirasi, bergerak secara terpadu, dan berkarya untuk semua: universal :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).