Langsung ke konten utama

Desember Telah Mengajarkanku

Larut malam, di sela mengerjakan tugas, sepulang rapat. Aku menangis. Aku putus asa. Aku tidak terima. Tapi aku siapa? Aku tidak memiliki hak ataupun kewajiban untuk tidak terima.

***

Di depannya biasa aja, seolah nggak ada apa-apa. Tetep senyum, tetep ketawa. Di medsos menyusun kata-kata yang nggak nyaman di hati ketika dibaca. Ya udah sih.

***

Dulu aku nggak percaya kalo ada yang bilang cewek itu baper. Tapi sekarang aku percaya. Desember telah membuat beberapa perempuan yang selama ini selalu tampak profesional menjadi baper. Memperlihatkan sisi tajam dari dirinya. Ya, berkilat-kilat dan mengiris.

***

"Kamu tau nggak sih rasanya nggak dipercaya sama orang yang udah milih kamu? Aku lebih milih nggak dipilih dari awal, daripada dipilih terus kemudian nggak dipercaya."

***

Mengapa harus tak membalas sapaan? Mengapa harus memalingkan muka saat diberi senyuman? Mengapa harus melupakan semua kedekatan yang selama ini dibangun? Mengapa harus mengesampingkan kerja sama panjang yang hampir berujung pada hasil yang diharapkan?

Mengapa tidak bertanya saja: "Jadi beda, pilihan kita di Pemilwa?" Siapa tahu beda pilihan kita di pemilwa justru akibat prasangka yang berbuah sikap yang tidak disengaja, tapi menggores hati berkepekaan tinggi. Mengapa tidak berkata saja: "Kamu mau kan ikut pilihan aku?" Siapa tahu di situ bisa mempengaruhi.

Mengapa harus berprasangka, kemudian menghasilkan perilaku menuruti prasangka yang belum dan tidak ingin dibuktikan itu? Kalau itu terjadi padaku, aku sih santai. Tapi itu terjadi pada orang lain, yang hatinya lembut luar biasa, yang belum tau apa-apa ketika itu datang. Masak aku harus bilang, ah aku nggak tega.

***

"Nggak semuanya bisa dipercaya"

***

"Kalo nggak percaya sama kami, kenapa dipilih? Kami itu dipilih semua, nggak ada yang mengajukan diri."

***

Desember telah mengajarkanku, bagaimana rasa cinta itu tumbuh. Desember telah mengajarkanku tentang rasa memiliki apa yang sudah dimiliki. Desember telah mengajarkanku, setiap orang punya sisi emosional. Desember telah mengajarkanku, biarlah semua luka yang digoreskan dibayarnya dengan kekalahan. Desember telah mengajarkanku, untuk mengabdi, walau diragukan. Desember telah mengajarkanku, untuk tak perlu malu menangis, ketika hati terasa perih. Desember telah mengajarkanku untuk melabuhkan semua kesedihan dalam doa. Desember telah mengajarkanku, bahwa prasangka tanpa bukti itu tidak hanya fatal, tapi juga menyakiti.

Desember telah mengajarkanku banyak hal. Dan Desember juga membuatku kagum pada banyak orang.

Pada mereka yang pagi dan siangnya kuliah, sore dan malamnya rapat. Beberapa amanah dalam satu bulan, dalam posisi yang strategis semua. Dan tugas kuliah tetap selesai tepat waktu, dengan hasil yang baik. Pemahaman materi kuliah juga keren. Aku ingin belajar banyak dari mereka.

Mereka mengagumkan. Dan itu membuatku mensyukuri Desember ini.

Jika ini semua tidak terjadi, mungkin kita hanya saling tau, tak pernah sampai pada tahap mengerti, apalagi memahami. Maka aku mensyukuri setiap lelah dan Lillah yang telah kita lalui bersama. Karena dari kalian semua, aku mendapatkan banyak hal aku belajar banyak hal.

***

Alhamdulillah, Desember telah berlalu. Dengan segala warna-warninya. Dari warna A, B, C, D, E, F, sampai Z. Dengan segala bentuk-bentuknya, dari merah, kuning, pink, ungu, hijau, biru, hitam, putih, kelabu, oranye, dan coklat.

Dengan Januari, yang akan mejadikanku makin mementari: di mana pun ia berada, selalu menyinari ^_^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).