Langsung ke konten utama

Valentine? Makanan Apaan Tuh?



Mari kita bicara sejarah.

Dulu, waktu aku masih SD, aku pernah denger-denger dikit tentang hari Valentine. Yang aku tahu dulu itu acaranya orang luar negri berbahasa Inggris tiap tanggal 14 Februari. Coba lihat dari namanya. Kalo acaranya orang Indonesia mah namanya Hari Sumpah Pemuda. Coba, tanya tuh sama para anak sekolah yang tahu hari Valentine itu kapan, Hari Kesaktian Pancasila kapan yaa? Sejarahnya gimana yaa? Uuh, masak ngerayain acara orang lupa acara sendiri?

Waktu aku kecil, aku berpikir bahwa kakak-kakak SMP, SMA keatas yang ikut-ikutan Valentinenan itu kurang kerjaan. Gimana enggak? Sama orang tuanya dikasih uang malah buat beliin pacarnya hadiah. Padahal itu kan orang lain, bukan siapa-siapa. Mending juga ditabung, buat beli buku. Coba, umur orang tuanya sendiri aja belum tentu inget. Kalo aku jadi orang tuanya, udah aku uleg anak macam itu. Masak lebih care sama anak orang daripada ibu bapak dan saudaranya?

Dulu sih waktu SD aku berpikir, Valentine itu cuma cara perusahaan coklat, bunga, kartu, dan keluarga besar pink itu promosi. Itu pasti cuma akal-akalan mereka aja biar laris. Dasar korban iklan deh. Konyol banget sih. Kenapa enggak beli sembako, terus dibagiin ke semua tetangga apa korban bencana, dan setahun nggak cuma sekali. Lebih berguna kan? Coba nih, misalnya, ada dua calon presiden. Yang satu bagiin coklat, yang satu bagiin sembako. Pasti deh yang bagiin coklat itu dicibir di belakang: Emang kita anak teka hah? Beras dong!

Dulu waktu SD aku merasa  sudah besar, jadi menurutku warna pink itu memuakkan. Coba di toko tas dan sepatu, yang ukuran anak teka pasti pada pink warnanya. Apalagi boneka. Terus bunga. Terus kartu. Nggak bisa dimakan! Dan coklat itu nggak lebih enak dari bakso, saudara. Coklat itu nggak gurih dan nggak pedes. Kayak makanan anak teka lagi. Sok imut dan centil sekali. Masalahnya adalah: ini musim hujan. Enakan makan bakso anget pake sambel. Kenyang dan hangat. Kalo mau makan tuh liat-liat musim dong. Bayangin orang sok nggaya pake baju renang pas musim salju.

Wah, betapa aku yang SD sangat cuek, sok merasa sudah besar, dan benar-benar tidak peduli. Tidak suka dengan sesuatu yang terkesan nyewek,manja, centil, girly, ribet, kaya anak kecil, dan cuma ikut-ikut. Ini nih yang aku paling nggak suka dulu: ikut-ikut. Kaya anak teka aja, temennya punya tas dorong terus ikutan minta ke orang tua.

Tapi aku yang SMA ternyata lebih akut. Besok, kalo aku punya media massa dalam berbagai bentuk, aku akan buat perusahaan dan akan membuat satu hari dalam setahun di mana semua orang di seluruh dunia membeli barang hasil produksi perusahaanku. Para perusahaan coklat dan kartu itu untung milyaran setiap Valentine, itu kalo buat mengentaskan kemiskinan, apa memajukan pendidikan, ah, aku mau seluruh dunia ini punya satu pimpinan yang melarang pemborosan tidak jelas seperti itu. Uh, jadi inget Laskar Pelangi. Rasanya aku sirik banget kalo lihat perusahaan nggak penting (coklat sama kartu itu bukan kebutuhan, keperluan aja bukan. Itu cuma keinginan) untung segitu banyaknya. Pinter banget dia. Besok aku pasti bakal harus lebih sukses.

Tahun lalu nih, aku baca berita yang lumayan heboh. Ada coklat yang dijual bukan sepaket sama bunga, katu, apa boneka, tapi sama kondom. Mending kalo yang beli suami istri. Lha itu kan di toko, kalo yang beli anak kecil? Masak ya ada penjual yang bilang: Heh kamu masih SMA, kamu mau ngapain beli begituan? Bikin pinter po? Enggak kan? Kamu kan anak sekolah, beli buku aja sana! Coba kalo kamu beli itu terus besok nyalon presiden terus kkejadian hari ini ketahuan. Nggak bakal kepilih kamu!

Terus kalo dari segi agama nih.

Sama MUI jelas nggak boleh. Aku setuju banget sih. Kalo pendapatku ada beberapa alasan. Alasan pertama: Ngapain? Alasan kedua: Buat apa? Alasan ketiga: Bikin tambah apa? Bikin lulus po? Alasan keempat: Hemat, mau kuliah. Ya  kalo mau kuliah ya. Kalo misalnya mau bunuh diri ya nggak usah hemat. Apa misalnya mau jadi penjahat juga nggak usah hemat. Paling ketangkep. Kan kalo di penjara dikasih makan, nggak perlu bayar kos, nggak ngapa-ngapain aja hidupnya cukup, gitu kan. Tapi kalo anak sekolah mah cukup itu nilainya C yang artinya: Maaf, Anda belum berhasil lulus. Cobalah satu tahun lagi.

Nah, selain itu, dari namanya aja Valentine, itu nggak ada hubungannya sama sekali sama Islam, syahadat, sholat, puasa, zakat, haji, sholeh, ngaji, iman, atau apapun. Masak ibadah agamanya sendiri aja belum bener malah ikut ritual agama lain. Yang wajib dikerjain ditinggalin, yang entah boleh apa tidak malah dibelain, ngotot dilakuin. Itu aneh sekali, bukan?

Kalo menurut aku ini juga berhubungan sama nasionalisme.

Bayangin deh, hari pahlawan itu jauh lebih gagah, lebih berwibawa, lebih anggun, dan lebih terhormat untuk diperingati. Pak Karno, Pak Hatta, Pak Diponegoro, Pak Imam Bonjol, Pak Pattimura, dan kawan-kawan seperjuangannya itu jauh lebih memperjuangkan cinta daripada Pak Valentine. Para pahlawan kita menyatukan daerah yang masih abstrak, nggak mbentuk, luas dan beda-beda banget jadi satu negara yang utuh dan dulu pernah "selalu dipuja-puja bangsa" padahal baru awal merdeka. Lha Pak Valentine itu cuma nyatuin pasangan-pasangan doang. Nggak terlalu gagah dan terhormat. Nggak pinter lagi. Bandingin sama Pak Karno. Udah ganteng, pinter, pemimpin, menguasai puluhan bahasa, wah, kalo ada di jaman sekarang udah jadi selebritis dunia nomer satu nih. Terus Pak Sutomo juga nggak kalah gagah. Pidatonya yang berapi-api, wuih, pemberani dan menyejarah.

Apalagi kalo dilihat dari sudut pandang-sudut pandang yang lain. Aku semakin tidak setuju!

Ah, betapa buruk tulisanku, sangat berantakan, tidak tertata, dan terlupakan. Beberapa menit habis ngetik aja lupa. Kalo mau info lengkap searching aja. Dan tulisan beberapa menit penuh emosi ini harus segera ditutup karena sudah membuat lupa waktu. Semoga tulisan tanpa suntingan ini tidak kacau. Saya akan membacanya suatu saat nanti mungkin.

Yang jelas, ingat: 14 Februari adalah Hari Berjilbab Internasional. Nantikan kisahnya besok-besok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).