Langsung ke konten utama

Ini Tentang Rumah, Rumah yang Sebenarnya

Apakah kamu benar-benar telah di rumah? Atau hanya berada di dalam bangunan?

Menurutku, rumah itu, tempat aku bernaung, tempat aku berlindung, dari segala iklim dan cuaca, semua musim, seluruh suhu. Tempat mencari kehangatan ketika di luar dingin. Tempat mencari kesejukan ketika di luar panas. Tempat menemukan ketenangan ketika di luar gemuruh. Tempat menemukan keceriaan ketika di luar sepi.

Itulah rumah yang sesungguhnya. Tempat kita bersandar, tergeletak, dalam lelah yang berurai air mata. Tempat beristirahat ketika payah, tempat di mana luka terobati. Tempat mengeluh, tempat mengusap peluh. Itulah rumah, rumah sebenarnya.

Ketika kamu di dalamnya, kamu membuka batas dan penutup yang kamu kenakan di luar. karena semua yang ada di dalamnya adalah keluargamu. Di dalamnya kamu bermanja, "aaa, aku belum bisa, aku belum paham apa-apa..." Di dalamnya kamu merengek, "aku tidak seperti kalian semua, yang luar biasa, aku tidak yakin akan mampu..."

Padahal di luarnya, kamu tegap berdiri, mengatakan "Ya! Siap! Sanggup! In syaa Allaah!" pada setiap tantangan dan hari-hari di depan. Kepalamu terangkat penuh optimisme, matamu menatap jauh ke depan penuh percaya diri. Kemampuanmu dikagumi, ssepak terjangmu mengagumkan.

Tapi di balik itu semua, ada rumah. tempatmu pulang melepas lelah. Menghindari angin yang bertiup kencang, hujan yang membasahi, petir yang menyambar. Merasa aman dalam pelukan, merasa dijaga dalam dekapan.

Rumah ini, bisa jadi tempat tinggalmu bersama keluarga biologismu. Ayah, ibu, kakak, dan adik. Bisa juga tempat tinggalmu bersama keluarga sosiologismu. Sering berinteraksi, bersama, menghabiskan waktu, mengisi hari. Atau, bisa jadi, ini adalah rumah di mana keluarga ideologismu tinggal bersamamu.

Meski jarang bersapa, bukan halangan tak saling percaya. Meski tiada hubungan darah, bukan berarti tak bisa saling memahami. Meski miskin interaksi, dalam kepadatan kinerja hati berikatan, tangan bergandengan, mata berbicara. Lalu kepedulian dan cinta melahirkan doa. Dalam diam, kata-kata tanpa suara mengangkasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).