Langsung ke konten utama

Bahagia-Bergerak :)

Kurangnya dopamin menyebabkan berkurangnya stimulasi pada korteks motor dan memperlambat dimulainya gerakan.

Kalimat itulah baru saja saya sadari ada di tayangan presentasi materi pertama biopsikologi yang dibuat dosen (ketahuan deh selama ini saya nggak merhatiin materi). Dan itu mengingatkan saya pada sesi curhat departemen kemarin siang. Sesi yang mencerahkan bagi yang lain, tapi tetap saya rasa kurang entah mengapa. Mungkin salah satunya adalah karena ada yang berhalangan hadir.

"Dia pikir cuma dia yang nggak suka? Aku juga nggak suka tapi aku tetep kerja. Bahkan aku komitmen buat tahun depan!" katanya begitu galak padahal berhati selembut kapas. Syukurlah dia yang mengeluh. Kalau saya yang mengeluh, mungkin kata-katanya lebih kejam. Dan tidak usah disebutkan.

Tapi kini saya sadar. Bahkan ilmu biopsikologi pun menjelaskan. Itu wajar, itu normal. Kurangnya dopamin meyebabkan berkurangnya stimulasi pada korteks motor dan memperlambat dimulainya gerakan.

Apa itu dopamin?

Sebuah teori menyatakan bahwa dopamin adalah penyebab kebahagiaan. Ketika seseorang bahagia, kadar dopamin di otak meningkat. Selain itu, dopamin juga meningkat ketika seseorang mengonsumsi amfetamin, kokain, ritalin, ekstasi, dan nikotin. (Kalat, 2007).

Jadi, bukankah wajar jika seseorang yang tidak menyukai sesuatu tidak akan bergerak untuk melakukannya, dan kalaupun bergerak ia memulai gerakan dengan lambat? Itu sangat manusiawi. Caranya bukan dengan mendorong dia, menarik dia untuk ikut bergerak. Semua diawali dengan membuatnya menyukainya. Membuatnya bahagia bergerak dalam hal itu.

Tapi, jangan jadikan itu alasan untuk tidak bergerak. Saya tidak bergerak karena saya tidak suka. Itu normal dan ilmiah. Selesai. Tidak sesederhana itu. Bukankah kita memiliki jiwa, psike, nafs, apapun namanya itu? Bukankah kita bisa memilih dengan bebas, berperilaku sesuai kehendak kita?

Ya, kita dibekali jiwa, yang memiliki potensi untuk melakukan sesuatu baik positif maupun negatif.

"demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya," (QS. Asy-Syams : 7-8)

Jadi, apakah kita sebenarnya tidak memiliki kehendak dan selama ini dan hanya merasa seperti berkehendak padahal sebenarnya tidak? Ini pertanyaan yang membuat teman saya bingung setelah membaca sebuah sumber belajar psikologi yang tidak pernah ada seorangpun yang menyuruhnya untuk membacanya. Saya akan tagih agar dia berbagi bacaan itu agar bisa menuliskan disini.

Kita manusia diberi akal dan hati. Akal dan hati menampung informasi yang diterima oleh panca indera kita. Lalu akal dan hati menentukan, apakah jiwa itu akan mengarah pada jalan yang positif atau negatif. (http://www.qsm.ac.il/asdarat/jamiea/4/HasanAamer-1.pdf)

Jadi, mau diam, enggan bergerak, karena tidak menemukan kebahagiaan disini? Atau, tetap bertahan walaupun gerakanmu lambat karena kebahagiaan itu tidak ada, sambil berupaya membangun kebahagiaan disini agar gerakmu lebih cepat? Kita semua bisa memilih, kawan!

Percaya atau tidak, seorang penyusun kata abal-abal membutuhkan waktu seharian untuk membuat cerita berantakan ini.

Sumber:
Karena ini cerita, bukan tulisan, mungkin saya nggak harus manut sama EYD dan APA.
Al-Qur'an
Tayangan Presentasi Materi I "Fisiologi Gerakan" Mata Kuliah Biopsikologi II halaman 54
http://www.qsm.ac.il/asdarat/jamiea/4/HasanAamer-1.pdf
Pramudito, Dhamar (2010). Biological psychology (9th ed.) (J. W. Kalat). Jakarta Selatan: Penerbit Salemba Humanika. (Original work published 2007).

Bercerita dengan seadanya,
Hanifa
Arina Dina Hanifa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).