Langsung ke konten utama

Kalo Enggak, Masih Ada Masjid Untuk Berdoa

Kutatap sepasang mata yang berkilat-kilat itu. Kata-kataku sebelumnya memancing emosinya. Ia baru saja berbicara dengan nada tinggi. Dengan ekspresi marah. Aku tahu dia sangat marah dan kecewa, pada dia yang aku pun merasakan hal yang sama terhadapnya. Sepertinya dia juga merasa kecewa dan marah kepada kami. Mungkin bukan kecewa dan marah. Mungkin semacam tidak suka, tetapi ini unik dan sulit dijelaskan.
"Ya kalo iya. Kalo enggak?" Ujarku keras dengan nada galak. Jujur aku merasa pesimis harapanku tidak akan terwujud. Biar saja, aku sudah menangis diam beberapa hari sebelumnya di dalam kama saat larut malam. Lalu mulai keesokan harinya aku kebal dari perubahan ekspresi (walaupun rasa "sakitnya tuh disini" pasti selalu muncul di hati) bila ada hal-hal menyakitkan.
"Masih ada masjid untuk berdoa." Katanya mendadak kalem sambil menunjuk dan memandang mushola yang ada di sebelah kami.

Aku terhenyak. Kamu mengingatkan aku pada sesuatu. Pada sebuah nasehat yang disampaikan berulang kali oleh para kakak. "Salah satu tanda mengandalkan amal adalah berkurangnya harapan bila usaha tak kesampaian." Ya, kurang lebih begitu.

Mengapa aku bisa lupa? Harusnya aku yang lebih dewasa--entahlah, sepertinya dia lebih tua--yang mengingatkan, yang lebih optimis menatap masa depan. Saat waktu berusaha telah habis. Dan hasil tampaknya tak sesuai dengan harapan. Tapi proses baru dimulai. Dan harapan itu masih ada!

Aku teringat kembali pada hari itu. Pada suatu pagi, pertama kali kita bertemu, berkenalan, bekerja sama, dan bercanda. Ya, anggap saja pertama kali. Yang sebelum-sebelumnya hanya formalitas mungkin, atau momen-momen terlupakan.

Semangatmu, --mungkin banyak orang menyebutnya dengan ambisi atau obsesi-- mewarnai hariku hari ini. Membuatku tersenyum dan tetap tenang walaupun aku sedang sangat kacau dan berantakan. Berapapun prosentase keberhasilannya, ada masjid yang selalu menawarkan kesejukan dan memberi ruang kedamaian. Aroma gagal atau sukses yang tercium, tetap saja, harus ada doa di sana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).