Langsung ke konten utama

Lembaga dan Keluarga

Ada sedikit rasa bersalah ketika saya mengetikkan kata lembaga lebih dulu daripada keluarga. Tapi lupakan saja soal itu. Ketika saya berusaha membaliknya pun, saya merasa itu menjadi judul yang kurang tepat.

Saya akhir semester lalu bertanya-tanya, mengapa kita harus merasa takut kekeluargaan kita menghambat profesionalisme? Pertanyaan itu telah terjawab. Tapi, saya memiliki pertanyaan yang lain sekarang. Dan lagi-lagi, di akhir semester. Akhir semester memang selalu mengesankan dan melibatkan begitu banyak perasaan. Pertanyaan itu adalah, mengapa mengkhawatirkan kurangnya rasa kekeluargaan dalam lembaga kita? Mengapa mempererat rasa kekeluargaan harus ada di atas meningkatkan kompetensi dan kapabiliitas diri dalam kinerjanya di lembaga?

Mungkin saya terlalu tak berperasaan, hingga berpikir bahwa profesionalitas di atas kekeluargaan. Tapi, apakah itu sepenuhnya salah? Bukankah ketika kita bergabung di lembaga, kita dari awal sudah tahu, ini bukan lembaga yang akan memberi keakraban anggota seperti komunitas minat bakat? Bukankah dari awal kita sudah tahu kalau lembaga ini ada untuk memberi manfaat pada orang lain?

Setidakberperasaan itukah saya? Tidak juga. Karena jawaban untuk pertanyaan "mengapa kita harus merasa takut kekeluargaan kita menghambat profesionalisme?" adalah "masak iya, untuk keluarga kita nggak ngasih yang terbaik?". Kita pasti akan memberikan yang terbaik untuk keluarga.

Tapi, bila kekeluargaan itu tidak muncul-muncul juga, biarkan saja. Untuk apa risau? Apakah ada, orang-orang yang berjuang bersama, gagal bersama, sukses bersama, bahagia bersama, sedih bersama, yang tidak akrab? Bukankah itu konon katanya tujuan dari outbond dan games? Membuat para peserta lebih kompak karena capek bersama, berusaha bersama, bekerja sama, menuju satu tujuan yang sama.

Mungkin saya memang terlalu kejam dan tidak berperasaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).