Langsung ke konten utama

Mengenang Palapaku

Entah mengapa, saya mendadak terkenang pada palapa. Terkenang pada pemandu woles luar biasa yang tahun berikutnya jadi komdis di fakultasnya. Terkenang pada ketidakmampuannya menjawab beberapa pertanyaan kami, tapi kami sayang pada beliau luar biasa. Beliau adalah kakak kami, walaupun tidak tahu setelah itu acaranya apa dan tak bertanya pada temannya. Kami tetap menyebutnya pemandu tercinta, kami tetap menyebut kebersamaan kami kenangan seru, meski di hari-H selepas upacara kami berlari tidak jelas, sampai akhirnya masuk terlambat di ruangan dalam lelah. Tapi kami selalu bahagia mengetahui dia masih ada menunggui kami, tak peduli apa yang sedang beliau lakukan.

Saya terkenang pada sebuah pagi yang indah, ketika saya melihat motor terbang, persis seperti sepeda terbang doraemon yang saya lihat di TV hari sebelumnya. Dan yang membuat hati saya terharu, terkesan, dan berjanji akan mencintai almamater ini sepenuhnya, adalah spanduk di belakangnya. Tulisan "Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa" tercetak tegas dengan tinta hitam di atas latar putih, berkibar mengelilingi lapangan. Kami semua terharu, sambil memandang langit biru. Rasanya panas tak terlalu terasa lagi.

Saya terkenang pada naskah yang harus kami baca, diberi judul deklarasi mahasiswa gadjah mada untuk kedaulatan Indonesia kalau tidak salah. "Aku terharu Han bacanya," kata teman sekelompok saya waktu itu. Saya juga terharu membacanya, dan lebih terharu lagi saat mengucapkannya, ditemangi langit sore yang teduh bersama hampir 10.000 orang lainnya.

Saya terkenang pada poster yang sampai saat ini masih menghiasi dinding kamar saya. Ketika parade 10.000 solusi untuk Indonesia yang keren luar biasa. Bahkan saya masih ingat seorang Mbak bergamis ungu muda dengan jilbab senada yang berteriak-teriak memberikan pengumuman saat TM palapa.

Tidak hanya terkenang. Jujur saya rindu. Rindu teman-teman, suasana, dan kebersamaan, ah, jangan ditanya lagi. Tapi yang membuat rindu ini meluap karena tak pernah menemukan yang serupa lagi, adalah rindu pada hukuman orasi atau memimpin menyanyi darah juang yang selalu ramai-ramai kami usulkan jika ada yang bisa kami tumbalkan. Rindu menyanyi lagu darah juang tiap sebelum dan setelah masuk ruangan, lagu kebanggaan beberapa teman sekelompok saya. Berkat merekalah saya akhirnya setelah sebulan lebih menyandang predikat maba, hafal lagu itu.

Saya rindu mendengar orasi kebangsaan Pak JK yang membangkitkan semangat kami. Dan membuat kami gemas pada Mbak anak faperta dan Mas anak FT (oh siapa mereka, saya yakin di angkatan saya masih banyak yang penasaran soal siapa mereka), karena jawaban mereka membuat kami berandai-andai kami sajalah yang ditanyai Pak JK.

Saya rindu. Rindu mendengar orasi mas presma yang menggetarkan hati, membuat sekujur tubuh merinding, dan mungkin jadi salah satu orasi terkeren yang pernah kami dengar, yang -ah, aku harus bilang apa lagi- sangat berkesan, bahkan bagi beberapa orang, sampai sekarang.

Saya rindu pada puisi mbak mapres yang telah mengusik rasa nasionalisme kami semua. Yang membuat itu menjadi salah satu pembacaan puisi terbaik yang pernah beberapa di antara kami lihat. Membuat mapres tak kalah populer dari presma, karena tampilnya di panggung palapa.

Saya rindu palapa. Semua tentang palapa. 5 jati diri UGM yang mengagumkan, dan semuanya, semuanya. Itu yang membuat beberapa di antara kami yang saat itu jadi peserta, bertekad hati menjadi panitia palapa, dan saya sudah 3 kali ada di palapa. Menjadi peserta, lalu dua kali menjadi cofas. Dengan bahagia yang mungkin tak bisa digantikan oleh hal lainnya.

"Cofas lagi Han?" Ya, sudah berapa kali saya mendapat pertanyaan begitu. Seperti tahun lalu ketika banyak yang bertanya, 'Kenapa nggak jadi panitia di Fakultas aja?" Soal kali ini beberapa kali di tanya "Nggak jadi SC Han?" "Nggak jadi koor Han?" atau "Nggak jadi subkoor Han?" Ah, itu pertanyaan macam apa dari mereka yang lama tidak bertemu saya, pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya tertawa.

Palapa. Saya sudah menghabiskan semua kesempatan menjadi panitia palapa yang saya punya. Dan saya yakin saya masih akan menanti video dokumentasi palapa di tahun-tahun berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).