Langsung ke konten utama

Aku Tak Setegar Itu

Sungguh, aku tak setegar itu. Di suatu malam, tiba-tiba aku menangis. Di depan dua orang yang tidak pernah melihatku menangis, yang hanya diam. Aku hanya bisa mengucapkan satu kalimat, “Gimana rasanya nggak dipercaya?”
Konyol kalau diingat sekarang. Bukankah saat itu mereka berdua yang bercerita, mendadak meragukan kedekatan yang selama ini mereka jalin dengan orang-orang yang saat itu mendadak tak meramahi lagi. Mempertanyakan kebersamaan selama ini. Mengungkapkan rasa terluka karena senyum dan sapa dibalas palingan muka. Lalu kalimat itu keluar dari mulutku. Dan aku menangis. Mereka berdua terdiam.
“Kalo nggak dipercaya, kenapa harus dipilih?” Kalimat kedua yang berhasil kuucapkan. Percakapan singkat itu lalu segera berlalu. Aku bangkit dan pamit. Mereka berdua, anak psikologi yang nyikologis banget itu, pulang, dan aku pergi setelah mengusap air mata. Saat itu, hanya kami bertiga dan Allah yang tahu. Seorang Hanifa juga bisa menangis. Aku tak setegar itu.
Aku tak setegar dia yang mengusulkan “Mbok hasil rapat dishare di grup biar panitia yang nggak dating juga tahu” lalu dibalas “nggak semua bisa dipercaya.” Aku tidak setegar dia yang dengan tenang berkata “Kalo nggak dipercaya, kenapa dipilih?” Kalau aku jadi dia, aku mungkin akan langsung berprasangka ‘bisa jadi aku termasuk dalam yang tidak dipercaya itu’. Momen itu, sungguh mengubahku menjadi gemar berprasangka.
Aku tak setegar itu. Tak setegar dia yang membersamai semua kesibukan ini, ditambah dengan ketua suatu acara besar yang baru pertama ada, dengan tetap mempertahankaan nilai cemerlang dalam transkripnya. Dia yang di mataku mendadak berubah menjadi pengamat teliti dan pemikir yang taktis.
Aku tak setegar dia. Meski dalam hari-hari dan malam-malam yang kami lalui bersama, kami merasakan keprihatinan yang sama. Kesedihan yang sama besarnya, karena cinta yang sedang menggelora. Tiap kali, aku ingin menangis, kurasa dia juga. Dan kurasa dia tahu kalau aku ingin menangis.
Tapi dia tak pernah menangis. Ia mendewasa, meningkat kualitas dirinya, memperluas wawasannya, memperkaya gagasannya, menambah pengalaman dan temannya. Aku tidak setegar itu, sungguh. Aku menangis pada suatu malam di depan dua orang, akumulasi dari lelah fisik-hati-pikiran yang kualami selama beberapa hari, dan akan kuhadapi kembali beberapa hari kemudian.
Aku memang bisa melewati semuanya. Dengan apa yang menurutku sangat pantas untuk disebut baik-baik saja. Hahaha. Bukankah apapun yang terjadi aku akan selalu meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja? Bahwa akan selalu ada kesempatan yang hadir menawarkan peluang, agar bisa meraih apa yang pernah kutulis dalam life plan, hal-hal yang ingin kupelajari dan dapatkan. Tapi aku sungguh tak setegar yang mereka pikirkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).