Langsung ke konten utama

Berterimakasih Atas Kesempatan

Saya mensyukuri 22 tahun yang terlewati. Saya bersyukur lahir dari orang tua yang terbiasa sibuk. Sampai usia ini, mereka masih sehat wal afiat dan jauh lebih enerjik dari anak-anaknya. Saya bersyukur lahir menjadi anak sulung. Tempat orang tua bercerita, bertanya, dan berdiskusi. Saya bersyukur atas semua pengalaman. Pengalaman menyenangkan yang membuat berulang-ulang mengenang. Juga pengalaman tidak menyenangkan yang menjadi pelajaran. Saya mensyukuri setiap keputusan yang tidak mungkin diralat. Waktu tidak akan pernah bisa berhenti atau diulang, dan bahkan hal paling bodoh yang saya lakukan mungkin jauh lebih baik daripada terlambat menyadari kalau itu salah dan melakukannya di masa depan.

Saya mensyukuri setiap kejadian. Termasuk saat bencana terjadi, gempa bumi dan erupsi gunung berapi. Saya bersyukur karena keluarga kami lebih dari baik-baik saja. Ummi dan adik memang trauma. Tapi alhamdulillah kami punya kesempatan untuk berbuat baik lebih banyak.

Waktu gempa bumi terjadi, saya masih SD. Saya tidak menyangka kalau gempa besar yang menghancurkan rumah-rumah seperti di Aceh juga bisa terjadi di dekat saya. Wilayah yang paling parah terkena dampaknya di Bantul dan Klaten. Alhamdulillah eyang kakung di Klaten baik-baik saja.

Waktu itu saya yang masih sekolah di SD swasta masuk pagi pulang hampir sore. Saya diantar jemput karyawan abi. Sekolah saya yang tepat sepekan sebelum gempa outbond di Imogiri, punya aneka kegiatan di luar kelas seperti layaknya sekolah swasta. Kami dibiasakan ikut lomba ini itu walaupun tidak terlihat ada harapan menang karena memang bukan ahlinya. Ada perkemahan akhir pekan juga.

Semua itu membuat saya cepat melupakan dan banyak melewatkan. Ternyata ada kisah-kisah terserak yang dulu saya anggap bukan apa-apa.

Selepas gempa, toko buku kami yang sangat dekat dengan rumah sakit sebelah kampus, tutup. Karyawan toko, penerjemah, dan editor juga sempat libur bertemu komputer. Di hari-hari pertama pascagempa, mas-mas dan pak-pak itu pindah kantor ke rumah sakit. Membantu angkat-angkat. Kadang memindahkan pasien, kadang memindahkan barang, kadang memindahkan jenazah.

Lalu abi bersama teman-temannya sejak muda yang kini menjadi partai tertentu mengumpulkan relawan dari berbagai tempat dan menjadi tim evakuasi di Bantul. Abi yang gendut dan tidak biasa dengan pekerjaan fisik juga ikut urun tenaga. Rombongan itu naik mobil keluarga kami, mobil kijang kotak yang kursi dalamnya dilepas dan diganti tikar. Bertuliskan 'tim evakuasi' di depan, mobil tua tapi baru bagi keluarga kami itu bolak-balik mengantar para tukang yang tidak kaya namun enggan kalah menyumbang tenaga. Pak-pak tukang dari desa-desa itu, kata abi, staminanya luar biasa dan seperti tidak ada capek-capeknya. Susah disuruh istirahat, tangannya masih ingin membongkar reruntuhan.

Mobil itu juga pernah membawa bantuan logistik. Ketika itu, banyak bantuan logistik yang tidak bisa mencapai daerah yang lebih membutuhkan. Para warga lain sudah keburu meminta di jalan. Beruntunglah berkat tulisan yang belum dilepas dan bentuk mobil yang tidak seperti angkutan barang, bantuan bisa sampai di tempat yang terkena dampak lebih parah. Ketidaksengajaan itu jadi pelajaran. Ketika ke Klaten, mobil ditempeli kertas 'keluarga korban'. Bukan bohong, kan?

Memori yang paling saya ingat adalah saat saya ikut perkemahan akhir pekan di sekolah. Lewat tengah hari acara usai. Perkemahan itu menyenangkan meski cuaca panasnya bukan main. Saya dijemput abi ummi dan adik-adik. Mereka membawa kelengkeng, katanya beli di jalan. Lalu mereka bercerita, dari mana hari itu.

Sekeluarga kecuali saya baru pulang dari Bantul. Abi seperti biasa membantu evakuasi. Ummi ikut membantu di dapur umum. Dan adik-adik saya yang waktu itu tiga orang jumlahnya pasti hanya bermain-main seolah itu wisata keluarga, sesuatu yang tidak pernah sempat kami lakukan sampai dua tahun lalu. Tidak lupa mereka ikut makan saat masakan matang dan para relawan bersama warga istirahat makan siang.

Kesempatan berbuat lebih banyak kembali datang saat terjadi erupsi merapi. Saat itu saya pergi berkemah di Babarsari. Kemah PMR yang tersia-siakan oleh panitia, acaranya seperti kurang terurus. Kami dengar terjadi erupsi Gunung Merapi. Kami disuruh menutup hidung walaupun tidak melihat hujan abu dengan jelas. Pasti saat itu panitia langsung berbondong-bondong turun tangan, meninggalkan hanya beberapa orang bergiliran mengurus lomba yang terlanjur berjalan. Para peserta memanfaatkan kekosongan dengan saling berkunjung dan mengakrabkan diri.

Sepulangnya dari perkemahan, sepanjang jalan dari kaca mobil kami melihat tumbukan abu menyelimuti setiap jengkal permukaan. Sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Rasanya aneh sekali, seperti dibawa ke dunia lain oleh mobil yang kami naiki.

Beberapa bulan kemudian, ummi naik ke merapi tiap pekan. Setelah beberapa kali diberi pembekalan mengenai trauma healing, ummi dan teman-temannya di organisasi persaudaraan muslimah mengerjakan proyek trauma healing. Kegiatan tetapnya adalah forum pengajian dan bercerita untuk ibu-ibu setiap Jumat. Kudapan yang disajikan dalam acara dipesan dari warga setempat secara bergiliran. Saya membayangkan kegiatan itu menyenangkan sekali. Menyiapkan kudapan bersama, duduk bercengkerama.

Ummi berkali-kali mengajak saya ikut ke desa tersebut. Saya juga sangat ingin ikut. Tapi sayang sekali setiap Jumat saya baru pulang selepas jumatan, padahal rombongan berangkat sebelum jumatan. Jadi sampai proyek itu selesai beberapa waktu kemudian, selalu hanya ummi yang bisa ke sana.

Tahun 2018 telah berlalu, dengan berbagai catatan bencana alam yang terjadi. Bagian yang paling saya sedihkan, saya tidak mengambil peran. Bukankah setiap musibah adalah ujian, bagi yang ditinggalkan untuk menguji kesabaran, dan bagi yang tidak terkena musibah untuk menguji kesyukuran?

Tapi saya bersyukur, kami pernah cukup mampu untuk membantu. Pernah cukup kesempatan untuk turun tangan. Semoga mulai tahun 2019 ini, kita semua menjadi lebih berdaya untuk bisa berbuat lebih untuk sesama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).