Langsung ke konten utama

Untung Bukan Aku yang Jadi Presidennya

Untung bukan aku yang jadi presidennya. Bukannya minta maaf, tapi malah "Heh, bilang sama rakyatmu yang numpang cari uang di negaraku, tanggung jawab sama tuh asap, udah ganggu hidup rakyatku di Sumatera". "Eh, orang cari duit di negara orang, udah diusahain tuh ngabisin duit banyak. Ganti! Pokoknya kalian semua harus ganti sepuluh kali lipat!" Kalau yang terjadi begitu, dunia ini jadi apa ya? Yang pasti uang ganti dari perusahaan-perusahaan pembakar itu lumayan juga bisa buat nurunin harga bensin. Eh, kok kayak lima tahun yang lalu ya?

Penasaran juga, habis baca berita di Republika. Orang Indonesia dibilang suka nyalah-nyalahin Israel sama Yahudi. Katanya sih itu antidamai. Katanya juga Indonesia memancing peperangan. Kata siapa? Ya, kata siapa ya, kira-kira kata siapa? Emang peperangan ikan, dipancing? Bisa dimakan po? Itu satu genus sama nila kayaknya. Enak tuh kalau digoreng setengah mateng, terus dimasak pakai bawang putih, bawang merah, garam, jahe, banyak cabe, sedikit air, sedikit kecap, apalagi ya? Nah, kalau menyentuh makanan jadi panjang paragrafnya.

Gimana ya, Bapak Proklamator kita, Pak Karno, kebanggaan kita semua, sudah pernah berorasi bahwa Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam menentang penjajahan Israel dan yang terdepan juga mendukung kemerdekaan Palestina.

Sebenarnya, itu mengagumkan banget. Kalau pakai analogi tontonan masa kecil, "Power Rangers" itu "Pejuang Keadilan", "Indonesia" itu "Pejuang Kemerdekaan". Kalau konsisten itu kayaknya cukup untuk bikin Indonesia jadi negara bos di bumi.

Yang bikin penasaran, apakah sang presiden akan menanggapinya? Dan yang lebih bikin penasaran lagi, kalau ditanggapi bilang apa ya?

Tapi kalau yang ini awas kalau minta maaf. Malu-maluin Pak Karno aja.

Jadi membayangkan kalau minta maaf, terus tiba-tiba malem-malem pintunya diketuk Pak Karno "Mbok ojo ngisin-isini negoro to, ngisin-isini aku barang". Hih, serem juga.

Apa ini efek masa kecil yang seperti anak kecil ya? Tontonannya kartun, mainnya petak umpet, nggak kenal sinetron dulu kecil, apalagi game juga. Menggemaskan juga anak kecil sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Angka 100

Di usia blog yang sudah 100 post ini, mungkin bisa terbilang bagus lah. Memasuki bulan ke-10, post ke-100, dengan 795 pengunjung. Termasuk bagus untuk ukuran orang seperti saya :) Buat banyak orang, 100 melambangkan kesempurnaan. Melambangkan kepenuhan, kepadatan, kepastian, kecukupan. Buat pelajar, 100 adalah nilai maksimal yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Dalam prosentase, 100% menunjukkan sepenuhnya, kepastian, keseluruhan. Tapi bagi blogger, 100 postingan bukan angka yang sempurna. Masih perlu banyak perbaikan dan perkembangan. Apalagi dalam keuangan. 100, terutama 100 rupiah adalah jumlah yang sangat sedikit. Walaupun untuk beberapa mata uang lain termasuk banyak. Tapi tidak ada kata puas dalam mengejar uang bukan? "Ini adalah postingan saya yang ke-100!" Sebuah titik tolak untuk mengembangkan blog ini. :| Blog ini tentunya masih berantakan sekali. :) Tadi waktu liat udah bikin 99 post jadi nemu inspirasi baru buat ngetik ini. Entah kenapa, mungkin post yang ke-100

Egosentrisme dan Sudut Pengambilan Gambar

Egosentrisme adalah ketidakmampuan anak-anak yang masih berada pada tahap perkembangan sensori-motori (sekitar usia 2-6 tahun). Contohnya, anak itu belum bisa memahami kalau keempat gambar ini memiliki objek yang sama. [dari buku Santrock, Life Span Development. Teorinya Piaget] Orang dewasa yang secara teori perkembangan seharusnya sudah tidak egosentris, tentu tahu bahwa suatu realita yang sama bisa ditampilkan dengan beberapa cara yang berbeda. Saya sedang tertarik dengan foto demo. Di sini saya membantah kata-kata seorang teman yang saya sayang "yang tertarik buat ngelirik aksi cuma 'anak aksi' juga". Saya bukan anak aksi tapi saya suka pengen tau sama orang aksi. Kan kadang ada aksi yang nggak jelas pesan yang disampaikan itu apa. Bukannya aksi itu salah satu tujuannya juga meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang persoalan itu ya? Lah kalo udah teriak-teriak, bawa banyak atribut, udah ada massa aksi yang dandan juga, tapi saya yang cukup

TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi

ASMA KARIMAH TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negrinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi . Sementara Kartini sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya. Penerbit Hanifah buku muslimah dan keluarga Daftar Pustaka : Asma Karimah, TRAGEDI KARTINI Sebuah Pertarungan Ideologi . Penerbit Hanifah, 1994 (cetakan kelima).